Pada suatu malam di sebuah pusat perbelanjaan, Ayu terlihat sibuk memilih sepatu yang ingin dibelinya. Di rak sebelah, Rani, sahabatnya, berkomentar, "Bukannya kamu sudah punya tiga pasang sepatu mirip ini, Yu?" Ayu tersenyum, lalu berkata, "Iya, tapi diskonnya besar. Sayang jika dilewatkan." Cerita seperti ini mungkin terdengar sederhana, tapi kenyataannya mencerminkan pola perilaku konsumtif yang makin melekat kuat dalam kehidupan masarakat kita.
Masyarakat kita telah lama terjebak dalam budaya boros yang sering kali dianggap lumrah. Berbagai faktor mendorong hal ini, mulai dari pengaruh iklan, media sosial, hingga gaya hidup modern yang mengedepankan penampilan dan kesenangan instan. Namun, budaya boros bukanlah sekadar masalah individu. Kebiasaan ini membawa dampak serius bagi keuangan pribadi, kesenjangan sosial, hingga keberlanjutan lingkungan.
Fenomena Konsumtif Budaya yang Melekat dalam Masyarakat
Budaya boros sebenarnya bukan sesuatu yang muncul begitu saja. Dalam beberapa dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi menciptakan kondisi yang memudahkan masyarakat untuk mengakses berbagai produk dan layanan.
Salah satu faktor terbesar adalah pengaruh media. Kamu pasti pernah melihat iklan yang menawarkan produk dengan slogan menggoda seperti "Diskon hingga 70% hanya hari ini!" atau "Jangan ketinggalan tren terbaru." Pesan-pesan semacam ini mendorong rasa takut akan kehilangan kesempatan (fear of missing out atau FOMO). Akibatnya, banyak orang membeli barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.
Selain itu, media sosial memainkan peran besar dalam membentuk pola konsumsi. Platform seperti Instagram dan TikTok sering kali menjadi tempat pamer gaya hidup. Banyak orang merasa perlu menunjukkan bahwa mereka mampu mengikuti tren, bahkan jika itu berarti berutang atau mengorbankan kebutuhan utama.
Mengapa Budaya Boros Terus Berlanjut?
Budaya boros bertahan karena berbagai alasan yang saling terkait. Berikut adalah beberapa penyebab utamanya:
Kurangnya Pemahaman tentang Kebutuhan dan Keinginan
Banyak orang tidak dapat membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Misalnya, memiliki ponsel yang bisa digunakan untuk berkomunikasi adalah kebutuhan, tetapi membeli ponsel terbaru setiap tahun karena tergoda fitur baru adalah keinginan.Pengaruh Hedonisme
Hedonisme, yang mengutamakan kebahagiaan melalui kesenangan, mendorong masyarakat untuk terus membeli barang atau layanan demi memenuhi gaya hidup. Pola ini sering kali diperparah oleh keinginan untuk menunjukkan status sosial.