Pendidikan adalah jembatan menuju masa depan yang lebih baik. Di atas kertas, setiap anak Indonesia memiliki hak yang sama untuk belajar, sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 31 UUD 1945. Namun, kenyataan yang kita saksikan sehari-hari berkata sebaliknya. Banyak anak di berbagai pelosok negeri masih kesulitan mendapatkan akses pendidikan yang layak. Bahkan, sebagian dari mereka tidak pernah merasakan suasana kelas atau memegang buku pelajaran.
Realitas yang Memprihatinkan
Coba bayangkan seorang anak bernama Lusi, yang tinggal di sebuah desa terpencil di Nusa Tenggara Timur. Setiap pagi, dia harus berjalan kaki sejauh 10 kilometer melewati bukit dan sungai untuk sampai ke sekolah. Ketika sampai, Lusi harus belajar di ruang kelas tanpa jendela, dengan atap bocor, dan meja seadanya. Bahkan, gurunya sering tidak hadir karena akses menuju desa itu sulit ditempuh.
Bandingkan dengan Tio, seorang anak di Medan. Dia tinggal di kawasan perkotaan dengan fasilitas lengkap. Sekolah Tio memiliki laboratorium, perpustakaan, hingga koneksi internet cepat. Tio tak perlu memikirkan bagaimana cara pergi ke sekolah, apalagi soal kelengkapan buku atau seragam. Ketimpangan seperti ini adalah gambaran nyata dari masalah pendidikan di Indonesia.
Faktor Penyebab Ketimpangan Pendidikan
Masalah ketimpangan pendidikan di Indonesia tidak berdiri sendiri. Ada banyak faktor yang saling berkaitan, di antaranya:
Keterbatasan Infrastruktur
Menurut data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), sekitar 40% sekolah di Indonesia membutuhkan perbaikan. Di daerah terpencil, akses ke sekolah sering kali sulit karena minimnya jalan raya atau sarana transportasi. Banyak sekolah yang tidak memiliki fasilitas dasar, seperti toilet atau listrik, sehingga proses belajar menjadi tidak optimal.Kurangnya Tenaga Pendidik
Kekurangan guru, terutama di daerah pelosok, menjadi masalah yang serius. Tidak sedikit guru yang menolak ditempatkan di daerah terpencil karena fasilitasnya kurang memadai. Akibatnya, anak-anak di sana harus belajar dengan guru honorer yang kurang terlatih atau bahkan belajar secara otodidak.