Lihat ke Halaman Asli

Frans Leonardi

TERVERIFIKASI

Freelace Writer

Media Sosial jadi Wadah Flexing

Diperbarui: 22 November 2024   13:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Flexing di Media Sosial.Chatgpt.com

Pagi itu, Dita membuka aplikasi Instagram di ponselnya sambil menyeruput kopi di meja kerja. Feed-nya dipenuhi dengan foto teman-temannya yang sedang liburan di pantai tropis, mengenakan pakaian bermerek, dan menikmati makanan mahal di restoran mewah. "Kok mereka selalu terlihat bahagia, ya?" gumam Dita sambil tersenyum kecut. Di balik layar ponselnya, Dita merasa hidupnya tidak semenarik apa yang ia lihat di media sosial. Fenomena ini, yang disebut "flexing", kini semakin merajalela di platform digital.

Flexing, atau kebiasaan memamerkan sesuatu untuk menunjukkan status, gaya hidup, atau kekayaan, telah menjadi tren global yang hampir tak terhindarkan. Tapi, apakah fenomena ini benar-benar mencerminkan realitas hidup? Atau hanya fatamorgana yang dirancang untuk mendapatkan validasi sosial? Mari kita ulas lebih dalam tentang bagaimana sosial media menjadi wadah flexing, dampaknya, dan bagaimana kamu sebaiknya menyikapinya.

Apa Itu Flexing di Media Sosial?

Secara sederhana, flexing adalah tindakan memamerkan sesuatu, biasanya untuk menarik perhatian atau menunjukkan keberhasilan. Di era media sosial, flexing tidak lagi terbatas pada lingkup fisik. Kamu tidak perlu bertemu langsung dengan orang lain untuk pamer mobil baru atau liburan mewah. Cukup unggah foto atau video dengan caption menarik, dan ratusan bahkan ribuan orang bisa melihatnya.

Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Facebook memberikan ruang bagi penggunanya untuk menampilkan sisi terbaik dari kehidupan mereka. Sebuah studi yang dilakukan oleh Harvard Business School menyebutkan bahwa perilaku pamer di media sosial sering kali dipicu oleh kebutuhan psikologis akan pengakuan. Semakin banyak like, komentar, dan share yang didapatkan, semakin tinggi rasa puas yang dirasakan oleh individu tersebut.

Namun, ada perbedaan besar antara realitas dan apa yang ditampilkan. Sebuah survei dari Journal of Social Media Studies menunjukkan bahwa 65% pengguna media sosial mengaku merasa tertekan karena melihat konten yang memamerkan gaya hidup mewah. Ini membuktikan bahwa flexing tidak hanya memengaruhi mereka yang melakukannya, tetapi juga audiens yang melihatnya.

Faktor Penyebab Flexing

Ada beberapa alasan mengapa fenomena flexing begitu marak di era media sosial.

  1. Tekanan Sosial untuk Terlihat Sukses
    Media sosial menciptakan ilusi bahwa semua orang harus terlihat sukses, bahagia, dan selalu "on top of the game." Hal ini sering kali memicu seseorang untuk memamerkan apa yang mereka miliki, meskipun sebenarnya itu hanya sekadar pencitraan.

  2. Pengaruh Algoritma
    Algoritma media sosial dirancang untuk memprioritaskan konten yang menarik perhatian. Foto dengan mobil mewah atau video unboxing barang mahal cenderung mendapatkan engagement lebih banyak dibandingkan konten biasa. Akibatnya, pengguna terdorong untuk membuat konten serupa agar tetap relevan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline