Lihat ke Halaman Asli

Frans Leonardi

TERVERIFIKASI

Freelace Writer

Generasi Strawberry yang Kreatif Sayangnya Rapuh

Diperbarui: 19 November 2024   18:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Generasi Strawberry (Chatgpt.com)

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah generasi strawberry kian populer dan kerap menjadi bahan diskusi. Istilah ini menggambarkan generasi muda yang terlihat cemerlang, kreatif, dan berbakat seperti buah stroberi yang segar dan menarik. Namun, stroberi juga dikenal mudah rusak ketika ditekan, dan ini menjadi analogi untuk generasi ini yang dianggap rentan terhadap tekanan dan masalah mental. Namun, apakah benar generasi strawberry hanya sekadar "rapuh"? Atau mungkin ada sisi lain yang belum dipahami sepenuhnya?

Kreativitas yang Tak Tertandingi

Kamu mungkin sering melihat hasil karya luar biasa dari generasi muda di media sosial. Dari video TikTok yang menginspirasi, karya seni digital yang menakjubkan, hingga ide bisnis inovatif yang menawarkan solusi baru. Generasi ini, lahir dan besar di era teknologi, memiliki akses tak terbatas pada berbagai alat untuk menyalurkan ide kreatif mereka.

Misalnya, kesuksesan beberapa anak muda yang membangun startup di bidang teknologi kesehatan atau lingkungan. Mereka tidak hanya kreatif, tetapi juga mampu menciptakan tren baru yang sering kali menjadi panduan bagi masyarakat. Dalam banyak aspek, generasi strawberry adalah pelopor perubahan positif.

Namun, ada sisi lain dari cerita ini. Kreativitas mereka sering kali dibayangi oleh kebutuhan akan validasi sosial. Mereka mengukur keberhasilan tidak hanya dari nilai-nilai substansial tetapi juga dari jumlah likes atau komentar di media sosial. Ketika ekspektasi itu tidak terpenuhi, rasa kecewa yang mendalam muncul. Ini menunjukkan bahwa kreativitas mereka, meskipun luar biasa, rentan terhadap pengaruh eksternal.

Tekanan yang Datang dari Segala Arah

Generasi ini hidup di tengah ekspektasi yang semakin tinggi. Tekanan bisa datang dari orang tua yang menginginkan anaknya sukses dalam waktu singkat, masyarakat yang menuntut mereka serba bisa, hingga lingkungan kerja yang semakin kompetitif.

Selain itu, budaya kerja yang sering kali mengutamakan produktivitas tanpa henti membuat mereka mudah merasa burnout. Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa lebih dari 50% anak muda di usia produktif merasa cemas berlebihan akibat tekanan pekerjaan.

Salah satu kisah nyata yang mencerminkan ini adalah pengalaman seorang pemuda bernama Dimas (nama samaran). Sebagai desainer grafis berbakat, ia mampu menghasilkan karya luar biasa. Namun, di balik layar, Dimas sering merasa tidak cukup baik karena terus-menerus membandingkan dirinya dengan rekan sejawat. Akibatnya, ia mengalami kelelahan mental yang membuatnya harus mengambil cuti panjang untuk memulihkan diri.

Kerapuhan yang Sering Disalahpahami

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline