Mulai Januari 2025, pemerintah menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kebijakan ini sudah direncanakan sejak lama melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tujuannya jelas, yaitu meningkatkan penerimaan negara untuk mendukung pembangunan dan mengurangi defisit anggaran. Namun, yang jadi pertanyaan adalah, siapa saja yang paling merasakan dampaknya? Dan bagaimana cara kita menyiasati perubahan ini?
Mari kita bahas lebih dalam agar kamu bisa memahami isu ini secara lebih komprehensif.
Kenapa PPN Dinaikkan?
Bagi sebagian orang, kenaikan PPN mungkin terasa seperti beban tambahan. Tapi, sebenarnya, keputusan ini tidak diambil secara tiba-tiba. Ada alasan logis di balik kebijakan ini. Pertama, dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand (7%) atau Filipina (12%), tarif PPN di Indonesia masih dianggap moderat. Kenaikan ini diharapkan mampu meningkatkan daya saing dan menjaga stabilitas ekonomi dalam jangka panjang.
Kedua, pandemi COVID-19 membuat anggaran negara tertekan akibat tingginya kebutuhan untuk subsidi dan bantuan sosial. Dengan naiknya PPN, pemerintah berharap bisa menutup defisit anggaran tanpa terlalu banyak bergantung pada utang luar negeri.
Namun, kenyataannya, dampak kenaikan PPN tidak dirasakan sama rata oleh semua orang. Ada kelompok masyarakat tertentu yang harus memikul beban lebih besar.
Siapa yang Paling Merasakan Dampak Kenaikan PPN?
Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Kamu mungkin sudah tahu bahwa kebutuhan pokok seperti beras, daging, dan sayuran tidak dikenakan PPN. Tapi, kenaikan PPN tetap memengaruhi harga barang-barang lain yang menjadi kebutuhan sehari-hari, seperti pakaian, alat elektronik, dan jasa tertentu. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kenaikan harga ini bisa mengurangi daya beli mereka.
Bayangkan seorang ibu rumah tangga yang harus mengatur anggaran keluarga. Dengan naiknya PPN, harga deterjen, sabun mandi, atau kebutuhan lainnya ikut terkerek. Ini membuat pengeluaran semakin besar, sementara pendapatan tetap.