Sebagai salah satu raksasa tekstil terbesar di Asia Tenggara, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau yang dikenal dengan SRITEX dulunya menjadi kebanggaan Indonesia. Dengan sejarah panjang sejak 1966, SRITEX berhasil membangun reputasi sebagai perusahaan tekstil dan garmen terkemuka yang melayani pasar domestik dan internasional.
Namun, pada tahun 2021, publik dikejutkan oleh kabar kebangkrutan SRITEX. Perusahaan yang dulu berjaya kini ambruk dan meninggalkan jejak pertanyaan yang mendalam. Apa yang sebenarnya terjadi?
Awal Mula Ambisi Perusahaan
SRITEX memiliki ambisi besar. Dengan pangsa pasar yang luas, perusahaan ini tidak hanya memproduksi tekstil untuk keperluan sehari-hari, tetapi juga menjadi pemasok seragam militer untuk berbagai negara.
Pada 2019, misalnya, perusahaan ini tercatat memiliki lebih dari 50 negara tujuan ekspor, mulai dari Timur Tengah hingga Eropa. SRITEX pun gencar melakukan ekspansi untuk meningkatkan kapasitas produksinya, terutama dengan membangun pabrik dan fasilitas baru yang membutuhkan investasi besar.
Tetapi, apa yang terjadi jika ambisi yang besar itu tidak diiringi dengan manajemen risiko yang matang? Dengan utang yang kian membesar untuk mendukung ekspansi, perusahaan ini menjadi rentan terhadap setiap perubahan ekonomi. Ketika pandemi COVID-19 mulai merebak pada tahun 2020, kerentanan tersebut mulai terlihat.
1. Pandemi COVID-19 Pukulan Telak bagi Bisnis Tekstil
Pandemi COVID-19 menjadi titik awal dari rangkaian masalah yang dihadapi SRITEX. Saat pandemi melanda, banyak negara memberlakukan pembatasan sosial, yang membuat masyarakat lebih banyak beraktivitas di rumah.
Hal ini berakibat pada turunnya permintaan pakaian karena konsumen mulai memprioritaskan kebutuhan pokok, seperti pangan dan kesehatan, dibandingkan belanja pakaian.
SRITEX yang sebelumnya bergantung pada permintaan global, terutama pasar ekspor, mulai mengalami kesulitan. Penurunan ini terasa sangat signifikan, di mana penjualan perusahaan merosot tajam.