Lihat ke Halaman Asli

Frans Leonardi

Freelace Writer

FOMO dan Media Sosial, Memicu Doom Spending yang Menghantui Generasi Muda

Diperbarui: 28 September 2024   09:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Anak Muda Belanja. Pixabay.com/gonghuimin468 

Fenomena doom spending semakin marak dan digandrungi oleh kalangan Gen Z serta milenial dalam beberapa tahun terakhir. Istilah ini merujuk pada perilaku belanja impulsif yang dilakukan sebagai bentuk pelarian dari tekanan emosional, kecemasan, atau ketidakpastian hidup. Belanja yang dilakukan secara impulsif ini sering kali tidak didasari oleh kebutuhan nyata, melainkan karena pengaruh kondisi mental yang sedang terganggu. Meski terlihat menyenangkan, dampak jangka panjang dari doom spending ini cukup signifikan terhadap kesehatan finansial dan mental generasi muda.

Generasi Z dan milenial tumbuh di era digital, di mana media sosial menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Berbagai platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube menjadi media promosi produk yang sangat efektif. Kamu mungkin sering melihat selebriti atau influencer di media sosial yang memperlihatkan gaya hidup glamor dan produk-produk terbaru yang memancing keinginan untuk ikut memiliki. Fenomena ini menimbulkan tekanan sosial, yang dikenal sebagai fear of missing out (FOMO), di mana seseorang merasa takut ketinggalan tren atau tidak mampu mengikuti gaya hidup yang ditampilkan di media sosial. Tanpa disadari, tekanan ini mendorong perilaku konsumtif yang tidak sehat.

Menurut riset dari Bankrate, sekitar 49% milenial mengakui bahwa media sosial mempengaruhi kebiasaan belanja mereka. Ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial terhadap pola konsumsi, terutama ketika algoritma secara cerdas menampilkan produk-produk yang sesuai dengan preferensi pengguna. Di sisi lain, banyak merek besar memanfaatkan momen ini dengan menawarkan flash sale atau diskon besar-besaran yang hanya berlangsung dalam waktu singkat. Hal ini menciptakan urgensi untuk segera membeli, meski barang tersebut mungkin tidak benar-benar diperlukan. Akibatnya, kamu tergoda untuk membeli secara impulsif, tanpa mempertimbangkan kondisi keuangan.

Selain tekanan sosial dari media sosial, ada faktor psikologis yang juga mempengaruhi perilaku doom spending. Dalam kondisi stres, cemas, atau bahkan bosan, berbelanja bisa memberikan rasa puas yang bersifat sementara. Aktivitas belanja memicu pelepasan dopamin, neurotransmitter yang bertanggung jawab atas perasaan bahagia dan puas. Namun, euforia yang dihasilkan dari berbelanja ini hanya berlangsung sesaat, dan sering kali diikuti oleh rasa penyesalan karena telah mengeluarkan uang untuk sesuatu yang sebenarnya tidak diperlukan. Penelitian dari Journal of Consumer Research menunjukkan bahwa belanja impulsif yang dipicu oleh emosi negatif cenderung berakhir dengan perasaan bersalah dan stres.

Dampak jangka panjang dari kebiasaan doom spending sangat berisiko, terutama bagi kesehatan finansial. Banyak Gen Z dan milenial yang akhirnya terjebak dalam lingkaran utang akibat perilaku konsumtif ini. Penggunaan kartu kredit atau layanan pay later sering kali dianggap sebagai solusi cepat untuk memenuhi keinginan, namun suku bunga yang tinggi dan ketidakmampuan untuk melunasi utang tepat waktu bisa menimbulkan masalah keuangan yang serius. Data dari Financial Industry Regulatory Authority menunjukkan bahwa lebih dari 40% milenial memiliki utang kartu kredit yang semakin meningkat setiap tahunnya. Ketergantungan pada kartu kredit ini tidak hanya memperburuk kondisi finansial, tetapi juga meningkatkan tingkat stres dan kecemasan.

Tidak hanya itu, kebiasaan doom spending juga menghambat kemampuan untuk menabung atau mencapai tujuan keuangan jangka panjang. Bagi banyak orang, menyisihkan uang untuk tabungan atau investasi menjadi semakin sulit karena pengeluaran yang tidak terkendali. Kamu mungkin merasa puas sesaat setelah berbelanja, tetapi dampak jangka panjangnya bisa sangat merugikan. Ketidakmampuan mengatur keuangan dengan baik dapat mempengaruhi stabilitas hidup, mulai dari kesulitan membeli rumah, hingga ketidakpastian dalam mempersiapkan dana pensiun.

Budaya konsumtif yang semakin kuat juga memperburuk situasi. Masyarakat modern, terutama generasi muda, kini hidup dalam lingkungan di mana konsumsi dipandang sebagai ukuran kesuksesan atau kebahagiaan. Gaya hidup mewah dan kemewahan material sering kali menjadi simbol status sosial yang diinginkan oleh banyak orang. Akibatnya, banyak yang terjebak dalam siklus pembelian yang berkelanjutan, di mana memiliki barang baru dianggap sebagai cara untuk memperbaiki citra diri atau meningkatkan rasa percaya diri. Kenyataan ini diperparah oleh kemudahan berbelanja online, di mana hanya dengan beberapa klik, kamu bisa membeli apa pun yang diinginkan tanpa harus berpikir panjang.

Riset dari Global Web Index menemukan bahwa 78% Gen Z dan milenial lebih memilih berbelanja secara online dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Hal ini tidak mengherankan, mengingat betapa mudahnya mengakses berbagai produk melalui platform e-commerce. Promo diskon, kemudahan metode pembayaran, dan pengiriman cepat membuat belanja online semakin menarik. Namun, kemudahan ini juga membawa risiko. Belanja menjadi terlalu mudah, sehingga impulsivitas sering kali mengalahkan perhitungan rasional. Tanpa sadar, kebiasaan ini menjerumuskan ke dalam pola konsumsi yang berlebihan.

Meskipun demikian, doom spending tidak harus menjadi bagian permanen dari gaya hidupmu. Ada beberapa langkah yang bisa kamu ambil untuk mengurangi dampak negatifnya. Pertama, cobalah untuk lebih sadar akan kondisi keuanganmu. Menyusun anggaran bulanan yang terperinci dapat membantu mengendalikan pengeluaran dan membuat kamu lebih bijak dalam mengelola uang. Pisahkan antara kebutuhan dan keinginan, serta hindari penggunaan kartu kredit untuk pembelian yang tidak perlu.

Selain itu, menunda pembelian impulsif juga bisa menjadi cara efektif untuk menghindari doom spending. Ketika kamu merasa ingin membeli sesuatu karena promosi atau iklan, beri diri sendiri waktu 24 jam untuk mempertimbangkan apakah barang tersebut benar-benar dibutuhkan. Langkah ini bisa membantu meredam dorongan impulsif dan memberikan waktu untuk berpikir lebih rasional sebelum mengambil keputusan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline