SURABAYA - Jembatan Merah, sebuah simbol keberanian dan perjuangan warga Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan, terus menjadi saksi bisu dalam menghadapi berbagai rentang waktu penuh sejarah di Kota Pahlawan ini.
Dinamai sebagai "Jembatan Merah" untuk menghormati peristiwa dramatis pada 10 November 1945, ketika Arek-arek Suroboyo bersatu untuk melawan penjajah, jembatan ini tidak hanya menyeberangi Sungai Kalimas namun juga melintasi lembaran sejarah yang sarat akan keberanian dan pengorbanan.
Peristiwa bersejarah dimulai dengan pengibaran bendera Merah Putih Biru Belanda di Hotel Yamato Surabaya, menjadi pemicu bagi Arek-arek Suroboyo untuk memulai aksi heroik perobekan bendera biru. Dalam semangat perjuangan yang berkobar, Jembatan Merah menjadi saksi ketika pertempuran sengit antara pejuang dan penjajah meletus, menciptakan babak baru dalam sejarah Kota Pahlawan.
Fujiwinarsih guru sejarah mengatakan, Pertempuran yang dimulai sejak bulan September 1945 membawa nuansa kematian dan keberanian yang menggetarkan.
" Puncaknya terjadi pada 30 Oktober 1945, di mana Brigjen AWS Mallaby, pemimpin angkatan bersenjata Inggris untuk wilayah Jawa Timur, tewas di sekitar Jembatan Merah, tepatnya di Gedung Intertio. Kematian Mallaby, hasil dari perlawanan Arek-arek Suroboyo, menandai puncak dari perjuangan yang sengit, hingga memuncak pada 10 November 1945." Ucap Fujiwinarsih.
Jembatan Merah tidak hanya menjadi saksi sejarah perjuangan, tetapi juga memainkan peran vital dalam perdagangan sejak zaman penjajahan Belanda. Terletak di Jalan Kembang Jepun, Kecamatan Pabean Cantikan, jembatan ini tetap menjadi penghubung utama, mengatasi air Sungai Kalimas untuk menghubungkan pusat perkantoran hingga pusat perniagaan di Kota Surabaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H