Masih segar dalam ingatan ketika puluhan tahun yang lalu seorang teman bercerita tentang minatnya untuk melanjutkan studi ke sebuah politeknik terkemuka di kota Bandung. Alasannya sederhana saja, supaya memastikan bahwa setelah lulus cepat memperoleh pekerjaan. Kebetulan politeknik yang dimaksud menjalin kerja sama erat dengan kalangan industri sehingga lulusannya terjamin dapat diterima di perusahaan terkemuka.
Apa daya keinginan teman tersebut tidak jadi kenyataan karena orangtuanya menginginkan sang anak untuk melanjutkan studi ke jenjang sarjana. Orangtua tidak berkenan jika anaknya tidak memiliki gelar sarjana.
Berhubung beasiswa berasal dari orangtua, dia terpaksa menuruti kemauan orangtua. Kabar terakhir karena si teman ini cukup cerdas dan beruntung, dia tak kesulitan memperoleh pekerjaan yang bagus hingga menjadi salah satu pimpinan perusahaan besar.
Hari-hari ini cerita yang terdengar sudah usang sering kali terdengar, bahkan semakin nyaring. Kali ini sekelompok mahasiswa yang sebenarnya kurang memiliki kemampuan untuk menjadi sarjana tetapi "terpaksa" berkuliah di jalur yang tidak tepat.
Mungkin lebih sesuai jika masuk ke jenjang diploma atau politeknik yang tidak menawarkan gelar kesarjanaan. Akibatnya sang mahasiswa kesulitan mengikuti ritme perkuliahan dengan segenap proses pembelajaran yang mengedepankan kedalaman akademik.
Dosen pun dibuat pontang-panting karena menghadapi mahasiswa yang kemampuan akademiknya sulit memenuhi standar minimal yang ditetapkan. Gelar kesarjanaan tetap menjadi prioritas walaupun kemampuan mahasiswa tidak sepadan untuk memperolehnya.
Belum lagi mahasiswa yang berasal dari kelompok karyawan yang "memaksa diri" untuk berkuliah lagi demi memperoleh gelar sarjana. Ketika ditanya kenapa rela bersusah payah pulang kerja kemudian kuliah hingga larut malam, jawabannya terdengar sederhana: demi meningkatkan peluang karier.
"Di tempat saya untuk menjadi minimal kepala bagian harus sarjana S-1, walau sudah berpengalaman dan berprestasi bagus," tutur seorang mahasiswa karyawan sebuah perusahaan swasta. Dia mengakui karena sudah lelah bekerja, maka tidak optimal berkuliah. Cuma sisa-sisa tenaga untuk mendalami materi yang diberikan dosen. Baginya yang penting adalah lulus dan memperoleh gelar sarjana. Karena tanpa itu peluang karier seperti tertutup .
Syarat utama
Potongan cerita-cerita ini seolah menegaskan bahwa dari dulu hingga sekarang, gelar kesarjanaan menjadi hal mutlak bagi seseorang untuk membangun masa depan. Jika lulus sekolah menengah atas, melanjutkan studi ke jenjang sarjana. Seolah menutup peluang ke jenjang lain yang mungkin memiliki prospek lebih baik terutama untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
Sebagian besar kalangan perusahaan pun masih mensyaratkan jenjang S-1 sebagai syarat mutlak untuk menjadi karyawan, terutama yang diproyeksikan menjadi pimpinan. Bahkan untuk level tertentu, dipersyaratkan minimal jenjang S-2.