[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Brisbane woman Rachael Jacobs gesture sparked the #illridewithyou social media movement. (brisbanetimes.co.au)"][/caption]
Begitu trenyuh melihat kondisi Indonesia belakangan ini. Mudah sekali isu agama digoreng oleh pihak tertentu untuk memancing kemarahan agama mayoritas dan menjatuhkan pihak lain, khususnya pemerintahan sekarang. Isu pelarangan doa di sekolah sempat menggelora beberapa waktu lalu [sudah mereda karena diklarifikasi Menteri bersangkutan] dan sekarang muncul pula isu pelarangan jilbab dalam rekrutmen suatu BUMN yang dipimpin oleh Menteri Rini Sumarno.
Isu yang jelas sangat sensitif, langsung secepat kilat disambar media online yang selama ini 'memusuhi' pemerintah, para netizen [termasuk beberapa teman di FB saya dengan kata kunci yang selalu berulang: MIRIS, Islamophobia, Test The Water, dll] yang seketika terpancing amarahnya dan MENGKAFIRKAN Jokowi dan Rini Sumarno, dan memaki Jokowi anti-Islam. Petinggi partai PKS, Hidayat Nur Wahid, yang merupakan salah satu wakil ketua MPR, tak ketinggalan untuk tampil di panggung dan langsung menyatakan tindakan Menteri BUMN Rini Sumarno bertentangan dengan Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kebebasan warga negara dalam beragama. Berikut link-nya: Bila Benar Ada Larangan Jilbab, Jokowi Harus Tegur Rini dan tulisan di Kompasiana yang meng-counter pernyataan beliau: Hidayat Nur Wahid Tidak Paham Hukum.
Ketika saya membaca berita tersebut, saya tidak langsung percaya. Segera saya meng-googling untuk mencari kebenaran sumbernya dan tibalah saya di akun twitter milik seorang Psikolog, Guru, dan DOSEN wanita bernama @estiningsihdwi. Dan, inilah sumber yang membuat sejagad Indonesia Raya ini heboh, curigation tingkat tinggi, dan emosi hingga ke ubun-ubun: https://twitter.com/estiningsihdwi/media Dokumen sepotong dengan caption, "Ini satu-satunya fotonya yg saya tweet. Tanpa identitas apapun. "Kriteria rekruitmen SEBUAH bumn."
Terlihat beberapa kriteria, tetapi tidak mencantumkan dengan jelas apa nama BUMN-nya. Apakah mereka-mereka yang marah ini membaca/mengklarifikasi terlebih dahulu dokumen kontroversial tersebut? Apa mereka tidak membaca bagaimana isinya dan mencari kebenaran isinya, menyadari konyol/tidak kata-kata di di dalamnya. Kalau mereka membaca dengan sedikit saja nalar dan logika, semestinya mereka akan tertawa melihat bagaimana penyajian isi, penulisan style font, ejaan EYD-nya. Akan terlihat begitu konyol persyaratan yang tertulis disana. Jika itu dilakukan, tentu TIDAK akan ada adegan marah-marah, caci maki dan penyebarluasan berita yang tidak jelas sumbernya.
Berikut tulisan di Kompasiana yang menelanjangi 'kekonyolan' dokumen tak jelas tersebut: Konyolnya Dokumen Hoax Kementerian BUMN ini. Apa sekarang ini masih masa Pilpres? Masih relevankah memakai isu agama untuk menjatuhkan pihak yang dianggap sebagai 'lawan' dengan dokumen yang tak jelas? @estiningsihdwi yang menyebarkan dokumen tak jelas sumbernya itu sampai malam ini ditantang @budisujatmiko [yang pernah berdebat dengan @jonru] untuk menyebutkan nama BUMN yang bersangkutan, tetapi hingga saat ini juga tidak melayani tantangan tersebut alias tidak mengeluarkan tweet balasan tentang nama BUMN bersangkutan. Tinggal sebutkan nama BUMN-nya, konfirmasi ke BUMN bersangkutan, dan lakukan tindakan tegas jika memang ada persyaratan-persyaratan 'nyeleneh' tersebut.
Sayang sekali, sepertinya metode dan pola 'hajar dulu, klarifikasi belakangan' yang mengudara sejak Pilpres 2014 ini terus terjadi berulang-ulang dan mungkin akan terus terjadi sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi. Kapan yah kita bisa menjadi bangsa yang dewasa? Menjadi bangsa yang tidak mudah diadudomba? Menjadi bangsa yang jauh lebih damai kedepannya, tidak dengan mudahnya mengkafirkan pemimpin mereka yang notabene seagama dengan mereka.
Semoga @estiningsihdwi dan @estiningsihdwi lainnya bisa jauh lebih dewasa tingkat solidaritasnya, sedewasa Rachael Jacobs, seorang warganegara Australia yang barangkali termasuk golongan kafir [versi mereka], yang melakukan tindakan kecil yang nyata-nyata menimbulkan efek positif yang begitu masif. Bukannya memprovokasi, Rachael, yang menariknya ternyata juga seorang DOSEN Pendidikan di Australia Catholic University di Brisbane ini, malah mampu meredam kemarahan sebagian besar warga mayoritas Australia yang sebelumnya dipicu oleh kematian dua orang sandera oleh seorang warga imigran/minoritas dalam peristiwa penyanderaan bersenjata di Kafe Lindt, Sydney, Senin (15/12/2014). Rachael 'hanya' merangkul seorang warga minoritas yang melepas jilbabnya saking ketakutan akibat penyanderaan itu. Namun, tindakan sederhana nan 'heroik' tersebut terlihat oleh seorang wartawan online dan seketika pula memicu tagar #i'llridewithyou menjadi viral di dunia maya dan akhirnya mencegah tindakan balas dendam terhadap kaum minoritas semakin meluas di Australia.
How #i'llridewithyou Began With Rachael Jacobs' Experince On A Brisbane Train
Dua contoh tindakan yang sangat bertolakbelakang, bukan? Yang satu memicu kemarahan dan yang lainnya meredam kemarahan. Yang satu berlandaskan rasa kebencian dan yang lainnya berlandaskan rasa KASIH. Sekarang tergantung kita untuk memilih tindakan mana yang menginspirasi langkah kita terhadap Indonesia Raya ini ke depannya. Saya berdoa, jangan sampai rasa kebencian dan dendam mengantarkan Indonesia Raya ini seperti negara Pakistan yang hingga hari ini terus berkonflik antar bangsa mereka sendiri. Motif balas dendam telah membenarkan tindakan pembantaian membabibuta yang menyebabkan 141 orang tewas, 132 di antaranya anak-anak, yang dilakukan oleh enam orang milisi Taliban di salah satu sekolah di Peshawar, Pakistan, Selasa (16/12/2014). Kita telah melihat bukti dimana dendam tidak akan menyelesaikan suatu masalah, malah akan menyebabkan permusuhan dan kebencian yang berkepanjangan.