Lihat ke Halaman Asli

Franhky Wijaya

TERVERIFIKASI

pemerhati bidang properti

Ada "Nilai" di Dalam Sepotong Daging Rendang

Diperbarui: 14 Maret 2023   16:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apo ka makan, Uda ?”

“jo randang ciek !”.

Kira-kira itu percakapan singkat kalau kita masuk ke rumah makan di tanah minangkabau. Ya, rendang atau randang merupakan pilihan yang tidak keliru ketika makan di warung Padang. Dagingnya yang sedikit keras tetapi tidak alot, terasa nikmat dengan bumbu yang meresap sampai ke dagingnya. Rasanya juga pas di lidah orang Indonesia pada umumnya. 

Menurut saya, makan rendang di perantauan dan di tanah minangkabau itu sendiri ada perbedaan. Kalau di perantauan, pilihan makan di warung Padang biasanya karena berbagai alasan seperti biar cepat atau sudah bingung tidak tahu mau makan apa lagi atau mau murah tetapi enak. Tetapi lain halnya makan di tanah aslinya. Di sini sudah tidak ada lagi warung Padang. Rata-rata warung makan pasti menjual rendang. 

Kebetulan bulan lalu saya pulang kampung ke Sumatera Barat. Wisata kuliner menjadi hal yang wajib dilakukan. Lupakan dulu diet, nanti disambung lagi. Makan rendang di tengah sawah dan angin sepoi-sepoi rasanya “sesuatu bangat-lah”. Makan juga tidak terburu-buru bahkan sempat berpikir, "Kok, bisa seenak ini ya ?" Bumbu rendangnya bisa masuk sampai ke helaian daging di dalamnya. Sabana lamak.

Rendang pernah menjadi makanan terenak di dunia dari versi CNN. Memang enak. Tetapi di sini saya tidak ingin membahas bagaimana cara memasak rendang. Saya masih awam dalam hal masak-memasak. Saya hanya bisa membuat makanan sederhana saja, itupun kalau tidak malas. Tetapi yang ingin saya share di sini adalah filosofi yang ada di dalam rendang itu sendiri. 

Bikin rendang bukan seperti buat masakan lain yang hanya selesai dalam hitungan menit. Tetapi memasak rendang bisa berjam-jam. Coba bayangkan siapa yang sanggup berdiri depan kompor api sampai berjam-jam? Yang pasti bukan saya. Hanya orang-orang tertentu yang mempunyai kesabaran tinggi yang bisa memasak rendang. Ya, di situ ada nilai kesabaran. Nilai ini tercermin juga di dalam kehidupan sehari-hari orang minang. 

Kalau ada persoalan di kampung, mereka tidak menyelesaikan sendiri, tetapi mereka berembuk dulu dan ini pasti butuh waktu untuk bisa menjadi kata mufakat. Dan nantinya akan dilakukan gotong royong jika dibutuhkan. Mereka cukup sabar dalam mengambil keputusan biar semua pihak tidak ada yang dirugikan. Contoh berikutnya adalah proses perkawinan. Ini juga memakan waktu yang lama, mulai dari proses persiapan hantaran sampai pembuatan rumah baru kalau dibutuhkan. Pembuatan rumah adat yang ada di minangkabau dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat setempat. 

sumber : unsplash / bawah-reserve

Nilai berikutnya adalah nilai kemandirian. Memasak rendang yang berjam-jam itu biasanya juga dilakukan seorang diri. Mulai dari memotong bahan sampai mengaduk-aduk santan menjadi rendang. Sebagai tip, semakin hitam rendangnya, maka semakin enak rendang itu. Bumbu sudah meresap sampai ke dalam daging. Tetapi kalau ada pertanyaan, apakah masih ada gizinya karena terlalu lama dimasak ? Nah, saya tidak tahu. Ya udah, toh makannya juga sekali-kali doang

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline