Istilah "kontekstualisasi" dimunculkan dan dikembangkan secara resmi oleh Theological Education Fund (TEF) pada tahun 1972. TEF mendapatkan mandat dari Dewan Gereja Dunia (DGD) untuk meningkatkan jenis pendidikan teologi di Dunia. Latar belakangnya ialah karena ketidak-puasan terhadap model-model pendidikan teologis yang tradisional dan ortodoks yang dianggap kurang relevan dengan konteks masa kini. Selain itu, jarak antara teks kuno dan konteks modern yang terlalu jauh sehingga menyebabkan kekhawatiran terhadap relevansi Alkitab (Hesselgrave, dkk: 1996, 48).
Pergumulan mengenai istilah "kontekstualisasi" terus berlangsung. Misalnya para kaum liberal mengusulkan istilah kontekstualisasi itu dengan istilah "context-indigenization" yang artinya "pempribumian konteks". Akan tetapi, kaum evangelical menerima istilah "kontekstualisasi" namun dengan pengartian ulang. Kaum ini juga menekankan bahwa penting menekankan istilah "Alkitab menafsir Alkitab" yakni mengizinkan Alkitab berbicara dari dalam konteksnya sendiri, menilai dan menghakimi mereka serta kebudayaannya.
Kerumitan dalam perumusan ini juga menyebabkan beberapa orang lebih memilih istilah "dekontekstualisasi" yakni upaya untuk membebaskan diri dari bias penafsiran yang timbul dari kebudayaan, sejauh hal itu mungkin, sebelum menyesuaikannya pada konteks kebudayaan lain. Hingga akhirnya, perdebatan mengenai istilah tersebut tidak lagi dilakukan sebab belum ada definisi kata yang dapat diterima secara umum.
Hal yang terpenting ialah mengenal dan memahami makna dan metodenya dengan benar agar dapat menjadi autentik dengan Alkitab, bukan palsu ataupun jatuh kepada liberalisme. Untuk itu, adapun yang menjadi ciri-ciri kontekstualisasi yang bersifat autentik ialah: Kontekstualisasi dalam Misi, Kontekstualisasi dalam Pendekatan Teologi, Kontekstualisasi dalam Metode Pendidikan, dan Kontekstualisasi dalam Struktur (Hesselgrave, dkk: 1996, 52).
Upaya-upaya Kontekstualisasi Teologi dalam Konteks Kehidupan.
Upaya kontekstualisasi merupakan bagian yang sangat dibutuhkan dalam berteologi yakni agar iman dapat dimengerti, diterima, dan dihayati sesuai dengan konteks penerimanya. Hal ini dikarenakan Alkitab ditulis pada suatu konteks dan kondisi tertentu (Yudaisme-Helenis) yang kemudian dibaca oleh manusia pada masa kini yang tentu memiliki pola pikir, sistem, dan kebudayaan yang berbeda.
Bahasa Alkitab yang ditulis pada zamannya sulit dipahami pada masa kini sehingga sering menyebabkan kurangnya relevansi, kekosongan, dan jauh dari kehidupan pembaca. Untuk itu, bahasa Alkitab perlu "dibahasakan dan diterjemahkan" kembali tanpa harus merubah esensi/ pesan pada konteks penerimanya. Salah satunya ialah bahwa teologi harus mampu menghadirkan "Allah yang dekat" dengan kehidupan pembaca sehingga pembaca mampu menghayati imannya dengan maksimal. Dengan demikian, teologi kontekstual juga menaruh ruang kepada kearifan lokal sebagai karya Allah. Salah satunya ialah dengan teologi yang bersifat transposisi, atau dikenal dengan istilah Teologi Transposisional (Song,: 2007, 7).
Teologi transposisional ialah usaha untuk menghadirkan dan memperoleh pemaknaan dari suatu konteks lain ke dalam konteks kita sehingga tercipta pemaknaan dan hubungan yang dalam, melampaui batasan kebudayaan, agama, dan sebagainya. Tujuannya ialah kita dapat mengerti teologi yang dibangun dalam suatu konteks ke dalam bahasa dan pola pikir kita.
Transposisi tersebut dapat dimengerti sebagai pergeseran ruang dan waktu dalam hal perwujudan serta sebagai upaya penerjemahan (komunikasi). Teologi ini menekankan sifat dan daya komunikatif sehingga dapat dimengerti dari berbagai latar belakang. Teologi ini menjadi upaya mendekatkan diri kepada realita dan konteks pembaca, bukan sebaliknya. Sebab tujuan teologi ialah untuk dimengerti dan kemudian dihayati dan dihidupi.
Upaya berteologi dalam suatu lokus atau konteks yang aktual yang disebut sebagai Theologia in Loco, yang juga menjadi bentuk upaya kontekstual. Istilah ini dicetuskan oleh Peter Dominggus Latuihamallo. Tujuannya ialah supaya teologi tidak menjelma menjadi proses indoktrinasi ataupun ideologisasi. Dalam konteks Indonesia, teologi ini dipahami sebagai bagian dari proses beriman secara autentik di lintasan sejarah yakni refleksi iman dalam perjumpaan dengan peristiwa dan konteks di Indonesia.
Selain menjadi suatu bentuk kemandirian teologi, upaya ini berusaha menekankan relevansinya dalam konteks masyarakat Indonesia (Simon Rachmadi: 2019, 1). Oleh karena itu, kita berharap ke depan, proses teologi di Indonesia bukanlah sekadar pengadaptasian langsung dari Barat ataupun luar melainkan yang dibangun, diangkat, dan dipergumulkan dari konteks masyarakat Indonesia sendiri.