Lihat ke Halaman Asli

Gregorius Nyaming

TERVERIFIKASI

Hanya seorang anak peladang

Kembali ke Basengat Ka' Jubata: Refleksi Masa Prapaskah dalam Konteks Gereja di Kalimantan

Diperbarui: 1 Maret 2023   18:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: parokisragen.or.id

Rabu Abu, 22 Februari 2023, menandai dimulainya Masa Prapaskah bagi umat Katolik di seluruh dunia. Masa Prapaskah adalah masa tobat. Retret Agung. Masa penuh rahmat di mana kita diajak untuk kembali kepada apa yang esensial, yang tak lain ialah Tuhan sendiri. Seperti yang diperdengarkan dalam bacaan pertama dari Nubuat Nabi Yoel bab dua ayat tiga belas pada Misa Rabu Abu: "Berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu".

Dalam konteks Gereja Katolik di Indonesia, umat beriman diajak mendalami dan selanjutnya mengambil tindakan konkret bersama atas Tema Aksi Puasa Pembangunan Nasional (APPN) 2023: "Keadilan Ekologis Bagi Seluruh Ciptaan: Semakin Mengasihi dan lebih Peduli". Dengan melansir dari laman mirifica.net, baiklah kiranya saya kutipkan secara utuh penjelasan dari Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) terkait dengan tema tersebut.

"Keadilan ekologis berarti adil terhadap sesama manusia (sosial) dan sekaligus adil terhadap ciptaan lainnya. Ciptaan memiliki arti lebih luas dari lingkungan hidup, karena ada hubungannya dengan rencana kasih Allah di mana setiap makhluk memiliki nilai dan arti (bdk. Laudato Si'/LS 76). Keadilan ekologis bertumpu pada prinsip bahwa seluruh ciptaan saling terhubung dan tergantung satu sama lain, sebagai suatu persekutuan universal. Paus Fransiskus menawarkan pendekatan ekologis yang mengintegrasikan soal keadilan dalam lingkungan hidup untuk mendengar dan merespon seruan bumi dan kaum pinggiran (bdk. LS 49). Bagi umat Kristiani kepedulian akan keadilan ekologis bagi seluruh ciptaan adalah bagian dari pewartaan Gereja (bdk. Mrk. 16:15). Gereja dipanggil dan diutus menjadi saksi keadilan dalam dunia dengan mencari langkah nyata dalam menerapkan prinsip menghormati martabat manusia, memperjuangkan kesejahteraan bersama, membangun solidaritas dan keberpihakan pada yang rentan berdasarkan cinta kasih sekaligus melestarikan alam semesta".

Oleh setiap keuskupan tema itu kemudian diolah kembali sambil menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi keuskupan masing-masing.  Keuskupan Sintang, misalnya, mengambil tema: "Memuji Tuhan, Merawat Alam". Tema ini terinspirasi dari pujian Pemazur ketika melihat kebesaran Tuhan dalam segala ciptaan-Nya (Mzm 104). Melaui tema ini Gereja Keuskupan Sintang mengajak umat beriman untuk peduli dan memperjuangkan lingkungan hidup demi keutuhan ciptaan sebagai perwujudan imannya.

Tentang bagaimana umat beriman di Keuskupan Sintang mendalami serta mempraktekkan tema tersebut, bukan menjadi fokus dari tulisan ini. Seperti ajakan yang ditawarkan oleh Nabi Yoel, tulisan ini juga sebentuk ajakan, secara khusus kepada umat Kristen Dayak, untuk kembali kepada apa yang esensial yang sejatinya sudah terkandung dalam salah satu yang menjadi kearifan lokal orang Dayak.

Kearifan lokal itu saya jadikan titik acuan, pertama-tama, agar penghayatan akan masa tobat ini, akan ajakan Nabi Yoel dan akan tema APPN juga dijalani oleh umat Kristen Dayak dengan sepenuh hati. Harapannya agar laku doa, puasa dan amal kasih yang mereka lakukan, baik sebagai pribadi maupun sebagai Keluarga Allah, menghasilkan buah demi terwujudnya tata kehidupan bersama yang lebih bermartabat. Selain itu, diletakkan dalam konteks evangelisasi di bumi Kalimantan, acuan kepada kearifan lokal itu hendak mengingatkan agar Gereja lokal menaruh perhatian terhadap harta kekayaan budaya yang telah dibagikan Allah kepada suku bangsa Dayak.

Gereja mesti menaruh perhatian pada kearifan lokal karena "pengembangan kelompok sosial mengandaikan suatu proses sejarah yang berlangsung dalam suatu konteks budaya, dan membutuhkan keterlibatan terus-menerus, terutama dari pelaku masyarakat lokal, dengan bertolak dari budaya mereka sendiri. Hal tersebut hendak menegaskan bahwa gagasan tentang kualitas hidup tidak dapat dipaksakan, tetapi harus dipahami dari dalam dunia simbol dan adat yang menjadi milik masing-masing kelompok manusia" (Laudato Si, 144).

Falsafah Basengat Ka' Jubata

Adapun kearifan lokal yang saya maksudkan ialah salah satu yang menjadi falsafah hidup manusia Dayak, yakni Basengat Ka' Jubata. Adil Ka' Talino, Bacuramin Ka' Saruga, Basengat Ka' Jubata. Begitulah bunyi lengkap falsafah hidup orang Dayak. Adil Ka' Talino berarti adil terhadap sesama; Bacuramin Ka' Saruga artinya mengarahkan mata ke surga; Basengat Ka' Jubata memiliki arti bernapaskan Tuhan yang Mahakuasa.

Falsafah Basengat Ka' Jubata saya jadikan titik berangkat karena di dalamnya diperlihatkan dengan benderang apa yang menjadi esensi manusia Dayak. Manusia Dayak adalah makhluk religius, makhluk ber-Tuhan karena napas hidupnya berasal dari Tuhan sendiri (basengat). Oleh karena itu, hidupnya sepenuhnya bergantung pada Tuhan, Sang pemberi kehidupan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline