Jujur, saya agak sedikit ragu untuk mengangkat topik ini. Saya ragu apakah topik ini merupakan sebuah perkara serius hingga harus diketengahkan. Belum adanya satu pun artikel yang mengangkatnya seakan menunjukkan kalau fenomena ini bukan menjadi sebuah perkara yang meresahkan dan menggelisahkan.
Saya juga ragu apakah topik ini harus menjadi wilayah kajian dan refleksi saya sebagai seorang pemuka atau tokoh agama. Saya hanya berpikir bahwa apa yang menjadi kegelisahan saya ini merupakan ranah tuan-tuan dan puan-puan yang ada di lembaga-lembaga adat Dayak untuk memikirkannya.
Akan tetapi, tulisan dari Masri Sareb Putra telah memberanikan saya untuk menuliskan apa yang menjadi kegelisahan saya. Beliau adalah seorang Dayak asli dan seorang penggiat literasi. Bersama dengan beberapa rekannya, beliau sudah mengkreasi beberapa portal media yang melaluinya masyarakat Dayak, masing-masing dengan keahlian dan ilmunya, memberikan kontribusi lewat literasi demi hilang lenyapnya segala hal yang merendahkan dan memarginalkan suku Dayak.
Dan lewat literasi pula, sejarah Dayak dan nasib orang Dayak ditulis dan ditentukan oleh orang Dayak sendiri.
Gnthi Seauton. Itulah judul dari artikel yang beliau tulis. Itu merupakan kata yang tertera di depan pintu gerbang kuil Apollo di Delhi dan memiliki arti "Kenalilah dirimu!"
Berangkat dari istilah yang sarat dengan makna filosofis itu, Masri ingin mengajak orang Dayak khususnya, agar bisa mengenal dirinya dengan lebih baik. Beliau menulis, "Mengenal diri sendiri adalah mengenal asal usul. Terutama menyangkut silsilah, klan, etnik, bahasa, dan budaya. Karena itu, seseorang yang tidak mengenal asal usul, terutama menyangkut silsilah, klan, etnik, bahasa, dan budaya menjadi luntur kualitas etnisitasnya" (ytprayeh.com, 12/5/2022).
Topik ini saya angkat juga dalam rangka pengenalan diri sebagai orang Dayak. Saya tentu tidak hendak mengklaim kalau sudah mengenal budaya Dayak dengan lengkap dan sempurna. Di sini saya hanya hendak menghayati hidup, seperti digagas oleh Michel Foucault, sebagai estetika eksistenti. Yang artinya hidup manusia dilihat sebagai sebuah karya seni, yaitu suatu usaha membangun diri secara terus-menerus dan tidak pernah mengenal titik istirahat.
Hal yang sama kiranya juga berlaku bagi kita orang Dayak. Bahwa eksistensi kita sebagai manusia Dayak itu merupakan sebuah proses menjadi dan tidak pernah mengenal titik berhenti.
***