Bulan Maret menjadi bulan yang sangat bersejarah bagi kaum peladang. Sebab pada bulan inilah mereka bersatu hati mengabarkan kepada dunia bahwa peladang bukan penjahat. Oleh Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), bulan Maret, tepatnya tanggal 9 Maret, ditetapkan sebagai Hari Peladang Nasional.
Dibebaskannya enam orang peladang oleh Pengadilan Negeri Sintang pada 9 Maret 2020 menjadi cikal bekal penetapan tersebut.
Dibebaskannya keenam orang peladang itu tentu saja menjadi kabar gembira bagi kaum peladang. Namun bukan berarti mereka bebas dari rasa takut dalam meneruskan tradisi berladang.
Kompas.com, 1/09/2021, pernah memuat berita tentang Avun, seorang petinggi suku Dayak Bahau di Kampung Tukul, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, yang sejak lima tahun terakhir tidak lagi berladang. Alasan utama mengapa dia beserta beberapa warga lainnya memutuskan untuk berhenti berladang ialah karena takut dipenjara.
Dengan berhenti berladang, maka artinya Avun dan beberapa warga lain tidak bisa lagi menghasilkan padi untuk dimakan. Kenyataan pahit lain yang tak bisa dihindarkan dengan ditinggalkannya tradisi berladang ialah punahnya ritual-ritual yang biasa dilakukan selama proses perladangan.
Hal ini diakui sendiri oleh Avun. Salah satu ritual yang tak bisa lagi dilakukan oleh masyarakat Dayak Bahau ialah Laliq Ugal. Sebuah ritual yang biasa dilakukan saat musim nugal (musim tanam) tiba. Ritual adat yang berpuncak pada tarian Hudoq ini, oleh masyarakat Dayak Bahau diyakini dapat menghadirkan roh-roh baik untuk memberi kesuburan ladang dan bibit yang ditanam.
Ritual Laliq Ugal hanyalah satu dari sekian banyak ritual adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak ketika musim berladang tiba. Gawai adat (pesta tutup tahun/pesta panen), yang merupakan puncak dari seluruh proses perladangan dan pesta adat yang maha penting bagi orang Dayak, dengan sendirinya akan hilang dari peradaban bila masyarakat Dayak tidak lagi diperbolehkan untuk berladang.
Kenyataan di atas tentu saja membuat masyarakat Dayak khawatir. Sebagai seorang yang lahir dari rahim seorang peladang, saya merasa terpanggil untuk turut menyuarakan kegelisahan dan harapan kaum peladang. Salah satu jalan yang saya tempuh ialah melalui tulisan. Di Kompasiana ini sendiri sudah cukup banyak artikel yang sudah pernah saya tulis berkaitan dengan hal itu.
Mengapa saya begitu getol membela kaum peladang karena -- di samping banyak alasan lain yang sudah pernah saya kemukakan - di mata saya berladang menjadi sebuah bentuk pemenuhan terhadap amanah yang Tuhan Allah sabdakan dalam Kitab Kejadian 1:28: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."