Lihat ke Halaman Asli

Gregorius Nyaming

TERVERIFIKASI

Hanya seorang anak peladang

Menulis di Kompasiana sebagai Estetika Eksistensi

Diperbarui: 16 Agustus 2021   17:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Logo Kompasiana. Sumber: Kompasiana.com

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat merasa kesal ketika membaca berita tentang beberapa anak remaja di Bekasi yang melakukan "Challenge Malaikat Maut".

Bagi saya, anak-anak remaja itu sedang memperolok-olok kehidupan. Ketika banyak anak manusia di berbagai belahan dunia berjuang untuk bertahan hidup di tengah pandemi ini, mereka justru dengan entengnya mempermainkan hidup. Menyerahkan hidup kepada maut hanya demi menjadi viral dan terkenal.

Aksi para remaja itu mengundang tanya dalam diri saya: Apakah harus seperti itu cara yang ditempuh dalam menjalani dan menikmati hidup?  Mengapa cara demikian yang harus dipilih untuk menegaskan eksistensi mereka sebagai manusia?

Saya hanya membayangkan, betapa akan menjadi sebuah tindakan yang sangat terpuji andai saja hidup mereka itu digunakan untuk menolong sesama yang sedang berkesusahan. Bila itu yang dilakukan, para remaja itu sudah melukis hidup mereka dengan sangat indah. Sebab sudah menjadikan hidup mereka bermakna bagi sesama.

Aksi para remaja itu bukan menjadi pembahasan pokok dari tulisan ini. Bahwa setiap orang berupaya melukis hidupnya seindah mungkin, ingin saya kaitkan dengan aktivitas kita menulis di Kompasiana ini. Bagi saya, menulis merupakan salah satu cara kita menjalani dan memaknai hidup yang diibaratkan sebagai sebuah karya seni (estetika eksistensi).

Kita menyebut Kompasiana sebagai Rumah Bersama. Namun, beberapa hari belakangan ini ada sedikit suasana yang kurang nyaman dalam Rumah Bersama ini. Menyikapi suasana tersebut, Engkong Felix menulis sebuah artikel dengan judul: "Benturan Peradaban" di Jagad Kompasiana (K 11/08/2021).

Terhadap tulisan beliau, saya pun meinggalkan jejak di kolom komentar begini: "Mengerikan rasanya membayangkan bila benar-benar terjadi benturan di dalam Rumah Kebersamaan ini. Sebab jika benar adanya, akan ada potensi untuk menjatuhkan, menegasi atau apapun istilahnya, orang lain (liyan). Ketimbang melihatnya sebagai sebuah "benturan", saya lebih melihat dinamika kepenulisan di K ini sebagai "estika eksistensi". Artinya sebagai seni untuk menjalani dan menikmati hidup. Karena sebagai sebuah seni, meski benturan takbisa dihindarkan, tidak ada ruang untuk merendahkan eksistensi sesama penulis."

Estetika eksistensi sendiri merupakan istilah yang digunakan oleh Michel Foucault dalam proses berpikirnya tentang pembentukan subjek. Menurut Foucault untuk bisa berkembang sebagai manusia, setiap orang harus bisa membentuk suatu tipe atau model dirinya (mode of being). Oleh karena itu hidup manusia dilihatnya sebagai suatu karya seni (estetika eksistensi), yaitu suatu usaha membangun diri secara terus-menerus dan tidak pernah mengenal titik istirahat.

Seperti suatu karya seni, seorang manusia harus senantiasa melukis dirinya. Kadang-kadang ia mundur agak jauh agar keindahan lukisan tampak. Manusia harus kreatif dan tidak mengenal titik stop dalam usaha dan perkembangan dirinya. Foucault juga mengklaim bahwa kalau orang sungguh memperhatikan dirinya dengan baik (care for the self), dia pasti juga akan bisa memperhatikan orang lain (care for others).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline