Sebagai seorang pengagum St. Paus Yohanes Paulus II (Karol Wojtya), saya selalu berusaha mengumpulkan buku-buku maupun artikel-artikel yang membahas kepribadian dan pemikiran beliau. Di laptop saya sendiri, ada satu folder khusus untuk menyimpan ajaran-ajaran yang pernah beliau sampaikan selama masa kepausannya (1978-2005).
Paus yang pernah berkunjung ke Indonesia pada tahun 1989 ini memang sungguh merupakan pribadi yang luar biasa. Sosok yang rendah hati, sederhana dan penuh kasih. Tidak heran kemudian beliau dijuluki sebagai "Paus Perdamaian". Karena melalui tindakan, tutur kata dan ajaran-ajarannya, beliau selalu menyuarakan pesan perdamaian bagi seluruh umat manusia.
Tulisan ini sendiri tidak hendak mengulik lebih dalam kepribadian dan ajaran-ajaran Bapa Suci yang sudah digelari sebagai orang kudus (Santo) oleh Paus Fransiskus pada 27 April 2014.
Adalah tanda tangan di atas yang menjadi sumber inspirasi saya menuliskan artikel ini. Tanda tangan di atas merupakan tanda tangan Kardinal Stanisaw Dziwisz. Beliau pernah menjadi sekretaris pribadi Paus Yohanes Paulus II hampir selama 40 tahun.
Nah. Suatu kali di kampus kami diadakan sebuah acara khusus dalam rangka mengenang mendiang Santo Paus Yohanes Paulus II sebagai pelindung kampus. Salah satu tamu yang diundang ialah Kardinal Stanisław Dziwisz.
Saya sangat senang mendengar kabar kalau beliau akan hadir. Kebetulan saya ada menyimpan satu buku yang ditulis oleh beliau dan sudah dialihbahasakan oleh Sr. Paula, CP: Lebih Jauh Bersama Karol Wojtya. Saya berpikir momen indah ini menjadi kesempatan yang baik untuk meminta beliau membubuhkan tanda tangannya pada buku tersebut.
Setelah acara selesai, saya pun berusaha menghampiri beliau agar berkenan membubuhkan tanda tangannya. Dengan ramah beliau menerima kehadiran saya dan dengan senang hati menyematkan tanda tangan pada buku yang saya sodorkan. Namun, ada satu hal yang membuat saya kaget bercampur bangga. Mengetahui bahwa saya berasal dari Indonesia, sambil tersenyum beliau hanya mengucapkan satu kata, "Pancasila".
Rasa bangga dan bahagia pun tak tertahankan mengetahui sesuatu yang menjadi identitas bangsa sendiri diketahui oleh orang asing. Hanya sayang rasa bahagia dan bangga itu berbalut rasa sedih karena teringat akan konflik dan ketegangan yang sering terjadi di tanah air akibat belum bisa menerima perbedaan satu sama lain.
Perbedaan merupakan realitas yang tak dapat kita sangkal. Karena itu, perbedaan sekali lagi patut kita syukuri, kita banggakan dan kita pelihara. Pertanyaan yang lebih penting kemudian ialah bukan tentang mengapa kita berbeda, melainkan tentang bagaimana kita menyikapi dan memaknai perbedaan tersebut.