Lihat ke Halaman Asli

Gregorius Nyaming

TERVERIFIKASI

Hanya seorang anak peladang

Kita Hidup, Harusnya Menjadi Manusia bagi Sesama, Bukan Menjadi Tuhan: Sejenak Berfilsafat

Diperbarui: 3 September 2020   16:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Screenshot | dokpri

"Belajar Filsafat dari Sebuah Novel Ternyata Mengasyikkan!" Begitulah Pak I Ketut Suweca memberi judul atas artikelnya setelah membaca kembali sebuah novel filsafat, Dunia Sophie karya Jostein Gaarder.

Membaca judul lalu menyimak uraian apik yang beliau paparkan, saya pun meninggalkan jejak di kolom komentar. Dalam komentar tersebut saya berpendapat bahwa belajar filsafat itu lebih banyak menggunakan rasio. Pengandalan rasio, dalam hemat saya, lalu membuat manusia mengagungkan dirinya karena merasa bisa menciptakan dan mengetahui segala sesuatu.

Pak Ketut nampaknya sejalan dengan pandangan saya tersebut. Beliau juga menegaskan bahwa filsafat hanyalah salah satu alternatif bagi manusia agar mampu dan terlatih menggunakan logikanya. Karena hanya salah satu alternatif, beliau mengingatkan bahwa ada banyak hal yang tak bisa dipahami hanya mengandalkan logika.

Bila manusia menggunakan rasionya secara overdosis, peran hati dapat menjadi hilang dalam kehidupan personal maupun komunal. Manusia mengalami kemajuan dalam kecerdasan intelektual, tetapi malah mengalami kemunduran dalam kecerdasan emosional.

Manusia menjadi mati rasa. Kehilangan kepekaan sosial. Ketika manusia sudah mati rasa, maka belas kasih, solidaritas, rasa iba, kasih sayang terhadap sesama dengan sendirinya tidak lagi hadir dalam ruang hidup bersama. Begitulah kira-kira hal yang menjadi kegelisahan kami.

Namun, benarkah demikian adanya? Sungguhkah mereka yang menenggelamkan diri secara serius mempelajari tema-tema filsafat menjadi orang yang terlalu rasional? Menjadi orang yang kurang peka? Sungguhkah filsafat malah menciptakan manusia-manusia yang tidak berperasaan? Manusia yang kehilangan wajah manusiawinya?

Para filsuf pasti akan serentak menampik semua tuduhan tersebut. Mereka justru akan menyerang balik dengan mengetengahkan fakta kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang mengaku diri beragama dan berTuhan. Jika memang kalian mengaku diri beragama dan beriman kepada Tuhan yang maha kasih, mengapa kalian sampai hati membunuh sesamamu sambil menyerukan nama-Nya?

Kalau demikian, manakah yang lebih penting? Rasio atau hati? (dapat juga dibaca sebagai akal budi atau iman?). Kita bisa membentangkan ulasan yang panjang lebar untuk mencari  mana yang lebih penting dan unggul dari antara keduanya. Karena ini hanya sejenak berfilsafat, barangkali lain waktu saja mengelaborasinya hehehe...

Berkaitan dengan kritik pedas yang dilontarkan para filsuf di atas, Gus Dur sudah pernah mengingatkan: "Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan. Allah itu Maha Besar. Ia tidak perlu memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya".

Paus Fransiskus dalam cuitannya pada 22 Agustus 2020 menyampaikan pesan serupa, "Tuhan tidak perlu untuk dibela oleh siapa pun dan Dia tidak ingin nama-Nya digunakan untuk meneror orang lain. Kami menyerukan kepada setiap orang agar berhenti menggunakan agama untuk menghasut, untuk kekerasan, ekstrimisme dan fanatisme buta".

Tuhan memang tidak perlu untuk dibela. Alih-alih menuntut pembelaan, Dia justru selalu menunjukkan belas kasih dan pengampunan kepada umat-Nya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline