Lihat ke Halaman Asli

Gregorius Nyaming

TERVERIFIKASI

Hanya seorang anak peladang

Kita Semua Bersaudara

Diperbarui: 17 Agustus 2020   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: republika.co.id

"Dorongan untuk membalas dendam dan rasa benci bukanlah penasihat yang baik untuk membangun landasan bagi keadilan dan perdamaian" -- Johann Baptist Metz

Negara Polandia, tempat saya menempuh studi saat ini, belum lama ini mengadakan pemilihan presiden. Pada putaran kedua terjadi pertarungan sengit antara Andrzej Duda dan Rafa Trzaskowski. Duda adalah calon petahana. Seorang Katolik sejati dan konservatif. Sementara itu lawannya, Trzaskowski, adalah seorang liberal.

Di antara sekian banyak isu yang digoreng selama kampanye, isu LGBT menjadi salah satu isu yang membuat penduduk Polandia bersitegang. Duda, sebagai seorang konservatif, selama masa kampanye dengan terang-terangan menyatakan: "LGBT merupakan sebuah ideologi yang lebih berbahaya daripada komunisme".

Pernyataan tersebut tentu menyakitkan banyak pihak, terutama kaum LGBT dan mereka yang pro LGBT. Bahkan Uni Eropa menghentikan bantuan dana kepada beberapa kota di Polandia yang dengan tegas menyatakan diri "BEBAS DARI LGBT".

Uniknya, meski pernyataannya itu mengundang banyak protes, Duda akhirnya kembali memimpin Polandia dengan perolehan suara 51%, dan 48% untuk Trzaskowski.

Pertanyaan kemudian tentu saja bagaimana nasib kaum LGBT? Masihkah mereka mendapat tempat di sebuah negara yang presiden dan beberapa masyarakatnya terang-terangan menolak keberadaan mereka? Beberapa masih berjuang agar hak mereka diakui oleh pemerintah. Namun, ada beberapa yang terpaksa meninggalkan negaranya sendiri. Mereka mencari tempat di mana eksistensi mereka diakui dan dihargai.

Jangan tanyakan tentang peran Gereja di balik kesuksesan Duda. Tentu ada. Tapi, kita juga tidak bisa langsung menuduh Gereja menghasut masyarakat untuk membenci kaum LGBT. Polandia, kita tahu, adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Katolik. Namun, terlepas dari realitas ini, masyarakat Polandia sudah lama diajarkan bahwa sebuah keluarga itu terdiri dari suami dan istri, dari orangtua dan anak.

Ajaran tersebut sungguh mereka yakini kebenarannya karena keluar dari mulut orang yang sangat mereka kagumi. Orang yang hidupnya suci dan bersahaja: St. Paus Yohanes Paulus II. "Keluarga,  yang didasarkan pada cinta kasih serta dihidupkan olehnya merupakan persekutuan pribadi-pribadi: suami dan istri, orangtua dan anak-anak, sanak-saudara.", begitu ajaran yang ia tuangkan dalam Anjuran Apostolik Familiaris  Consortio (Tentang Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern).

Fokus saya bukan pada peran Gereja. Terkait dengan kaum LGBT, yang entah sampai kapan akan terus berdarah-darah memperjuangkan haknya, dan bahkan ada yang terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya, saya hanya hendak menunjukkan bahwa persaingan politik seringkali menyisakan luka dan derita. Ibarat peribahasa: "Gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah".

Bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang ke-75 ini kiranya baik untuk kita renungkan bersama betapa pentingnya kebersamaan dan persatuan dalam membangun dan memajukan negeri ini. Kita sudah lelah menyaksikan konflik dan permusuhan. Menyedihkan memang ketika sesama saudara yang seharusnya menjadi rekan seperjalanan dalam membangun negeri ini, justru kadang menjadi korban kebencian dan kekerasan hanya karena berbeda suku, bahasa, ras dan agama. Ketika sesama anak bangsa saling membenci dan menghujat hanya karena berbeda pilihan dan dukungan dalam politik. Konflik dan permusuhan hanya mendatangkan derita dan kepedihan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline