Lihat ke Halaman Asli

Gregorius Nyaming

TERVERIFIKASI

Hanya seorang anak peladang

Mengenal Beberapa Seni dan Budaya dalam Suku Dayak Desa

Diperbarui: 21 Juli 2020   05:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: sejarahsintang.blogspot.com

Dayak Desa merupakan salah satu subsuku Dayak dari sekian ratus subsuku yang hidup di Kalimantan Barat. Dayak Desa sendiri masuk dalam rumpun Ibanic. Selain subsuku Dayak Desa masih ada beberapa subsuku lainnya, seperti: Seberuang, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebuyau, Balau, Remun, Dau, Lemanak, Skrang, Ulu Ai, Undup, Batang Lupar, Selakau, Sebaru.

Rumpun Ibanic memiliki beberapa kesamaan seperti bahasa, motif dan gambar tato, adat-istiadat, musik, senjata, ritus keagamaan, pola dan motif anyaman, tenunan dan ukiran.

Dayak Desa tersebar di tujuh kecamatan: kecamatan Sintang, kecamatan Binjai Hulu, kecamatan Kelam Permai, kecamatan Sei Tebelian, kecamatan Dedai, kecamatan Tempunak dan kecamatan Sepauk. Subsuku Dayak Desa ada juga di kabupaten Sanggau.

Mereka merupakan penyebaran dari Dayak Desa di kabupaten Sintang. Mereka pindah ke Sanggau karena mencari lahan yang masih subur dan juga menghindari peperangan antarsuku yakni dengan suku Iban.

Dayak Desa di kabupaten Sanggau terdapat di kecamatan Sekadau Hilir, tepatnya bermukim di kampung Tapang Sambas, Tapang Kemayau, Perupuk Mentah, Terentang, dan kampung Baru.

Lantas mengapa mereka disebut sebagai Dayak Desa? Dalam percakapan sehari-hari banyak dijumpai kata yang diakhiri dengan 'ai'.

Banyaknya pemakaian bunyi 'ai' dalam kata-kata yang mereka ucapkan menjadi alasan mengapa mereka disebut Dayak Desa.

Karena banyak kata yang diakhiri dengan 'i' atau 'ai', bahasa Dayak Desa disebut bahasa benadai-nadai. Kata nadai sendiri artinya "tidak" atau "tidak ada", sehingga kalau diartikan secara harafiah artinya betidak-tidak.

Bahasa yang dituturkan orang Desa mempunyai banyak persamaan dengan bahasa yang dituturkan orang Lebang, Mualang, Ketungau dan Bugau.

Persamaannya adalah pemakaian bunyi 'ai' untuk kata-katanya, seperti untuk mengatakan 'makan' mereka mengatakannya dengan 'makai, untuk 'berjalan' mereka mengatakannya dengan 'bejalai, 'pulang' menjadi 'pulai', dan sebagainya. Meskipun begitu, mereka juga memiliki perbedaan, yaitu pada tekanan dan logatnya, walau mengandung arti yang sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline