Lihat ke Halaman Asli

Gregorius Nyaming

TERVERIFIKASI

Hanya seorang anak peladang

Manusia sebagai Homo Dolens

Diperbarui: 18 Juli 2020   04:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: puspensos.kemsos.go.id

Dalam ritus sakramen pemberkatan perkawinan dalam Gereja Katolik, ketika sampai pada pengucapan janji oleh kedua mempElai, keduanya akan berjanji: "Di hadapan Tuhan... Saya berjanji untuk setia kepadamu dalam untung dan malang, suka dan duka, sehat dan sakit..."

Dalam rumusan itu tertulis "dalam untung dan malang", "suka dan duka, "sehat dan sakit". Dari rumusan ini kedua mempelai hendak diingatkan bahwa hidup tidak hanya berisi untung, suka dan sehat saja, tapi juga ada malang, duka dan sakitnya juga.

Begitulah realitas kehidupan manusia. Bila mau jujur pastilah kebanyakan dari kita memilih untuk hidup sehat, selalu dalam keadaan untung atau dalam keadaan suka. Namun, kenyataan sering kali seperti yang tidak kita harapkan. Sakit, penderitaan yang mendengarnya saja kadang kita enggan, apalagi mengalaminya, seringkali juga datang menyapa.

Kenyataan bahwa sakit dan penderitaan selalu menjadi bagian dari hidup manusia, membuat manusia dikatakan sebagai homo dolens (makhluk yang menderita). Manusia menderita karena bencana alam, peperangan, kehilangan, mengalami ketidakadilan, kemiskinan, kelaparan, mengidap penyakit tertentu, dst.

Merebaknya wabah virus corona seakan semakin hendak menegaskan bahwa peziarahn hidup kita yang akan tak pernah lepas dari penderitaan. Jutaaan nyawa telah hilang akibat pandemi Covid-19 ini. Pun juga, banyak anak manusia menjadi putus asa dan patah semangat karena kehilangan orang-orang terkasih dan juga penghasilan.

Bila memang penderitaan itu tak terhindarkan, bagaimana kemudian kita harus menyikapinya? Apakah ada makna yang indah di balik penderitaan yang kita alami? Jika memang ada, beranikah kita menghadapinya dan menanggungnya dengan tabah?

Tak dapat dipungkiri memang, kalau penderitaan itu seringkali membuat orang jatuh dan tak mampu bangkit lagi. Bahkan, tak jarang ada banyak juga yang menyalahkan Tuhan atas segala yang terjadi. Penulis sendiri pernah mengalaminya. Namun, seiring berjalannya waktu, penulis menyadari bahwa Tuhan  punya rencana di balik segala pengalaman pahit tersebut.

Untuk bisa sampai pada kesadaran tersebut tentulah memerlukan proses yang panjang. Dan tentu saja menimba pelajaran dari orang lain yang juga mengalami penderitaan, kesusahan dalam hidup, namun tetap tegak berdiri dan dengan penuh senyum menghadapinya.

Penulis memiliki sebuah pengalaman menarik yang pernah penulis jumpai di sebuah tempat di mana penulis pernah berkarya. Pengalaman ini berkaitan dengan bagaimana suku tempat (suku Dayak Uud Danum) memaknai atau "merayakan" kematian. 

Ketika di beberapa tempat umumnya  peristiwa kematian diliputi suasana hening, haru dan penuh duka, tidak demikian dalam suku Uud Danum. Jenazah mereka yang telah meninggal harus disemayamkan selama tiga hari tiga malam di dalam rumah. Pada malam hari sambil menunggu jenazah dan menemani keluarga yang berduka akan diisi dengan permainan bola api.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline