Saya baru bergabung dengan Kompasiana pada 30 Juni 2020 yang lalu. Seperti Kompasianer lainnya, tentu ada alasan tersendiri mengapa saya bergabung. Selain karena saya suka membaca dan menulis, sistem kerja Kompasiana yang menjadikan para Kompasianer sebagai penulis sekaligus editor bagi tulisannya, bagi saya sangat unik dan menarik sekaligus menantang.
Pertama-tama, sebagai newcomer saya patut bersyukur karena salah satu artikel saya pernah terpilih sebagai artikel utama. Betapa senang hati ini. Bukan bermaksud untuk pamer. Sebagai manusia kita wajib bersyukur atas apa yang kita capai dalam hidup, apalagi bila itu hasil jerih payah kita sendiri.
Selanjutnya, sebagai pendatang baru, tentu saya mengharapkan suasana yang tentram dan penuh damai di komunitas yang saya masuki. Namun, harapan saya tersebut sedikit tidak terpenuhi kala menjumpai adanya perdebatan soal centang hijau dan biru, dan soal-soal lainnya.
Di sini, tentu saja saya tidak hendak mengusik kenyamanan siapa pun juga. Saya tidak berhak menilai atau menghakimi pandangan mana yang benar, mana yang benar. Bagi saya, Kompasiana adalah sekolah kehidupan. Karena itu, saya hanya ingin memetik beberapa hal yang bisa dijadikan bekal untuk perjalanan hidup.
Pertama, soal kejujuran. Bagi saya, dengan menjadikan Kompasianer sebagai penulis sekaligus editor bagi tulisannya, Kompasiana sungguh hendak mendidik saya menjadi pribadi yang jujur. Jujur tentu saja dalam keaslian artikel yang saya tulis.
Menjadi pribadi yang jujur bukan perkara yang gampang. Dengan kemajuan teknologi, saya bisa dengan mudah mengcopypaste tulisan orang lain lalu saya tampilkan di Kompasiana sehingga seolah-olah menjadi hasil pemikiran saya.
Dengan menjunjung tinggi kejujuran, kuantitas bukan menjadi prioritas. Apa pun yang saya tulis harus bisa menyumbang sesuatu yang berharga bagi hidup bersama maupun pribadi-pribadi yang membacanya. Mungkin hanya akan menyumbang sedikit, tapi bagi saya itu sudah cukup.
Kedua, segala sesuatu itu perlu proses dan perjuangan. "Orang yang hendak mendaki gunung, bukan melakukannya dengan melompat-lompat, melainkan dengan berjalan setapak demi setapak".
Ungkapan inilah yang selalu saya pegang dan saya jadikan sebagai motivasi hidup. Mungkin saya bisa memilih melakukannya dengan melompat-lompat atau bahkan mungkin dengan berlari.
Namun, dengan cara seperti itu, selain akan mudah menjadi lelah, akan ada banyak momen-momen indah yang terlewatkan. Berjalan setapak demi setapak tentu juga melelahkan.
Namun, dengan memilih cara itu, orang akan mempunyai banyak waktu untuk merenungkan bahwa kesuksesan, kebahagiaan dalam hidup tidak digapai dengan cara instan.