Lihat ke Halaman Asli

Gregorius Nyaming

TERVERIFIKASI

Hanya seorang anak peladang

Kearifan Berladang Suku Dayak: Harmoni antara Tuhan, Manusia, dan Alam

Diperbarui: 6 Juli 2020   10:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warga sedang menanam padi (nugal) di ladang. (dokpri)

Sebuah pepatah mengatakan, "Jangan pernah menggigit tangan yang memberi kamu makan". Jika tanpa alam orang Dayak tak bisa hidup, maka mustahil mereka merusak sesuatu yang daripadanya mereka memperoleh makanan untuk bertahan hidup.

Para pembaca yang budiman, kebanyakan dari kita pasti tahu bahwa suku Dayak,  merupakan suku mayoritas yang hidup di bumi Kalimantan. Ada ratusan sub suku Dayak yang tinggal di sana.

Jumlah yang banyak tersebut tentu saja menghadirkan keragaman bahasa, tradisi, kebiasaan dan adat-istiadat. Namun, ada satu hal yang hampir dapat djimpai dalam semua suku Dayak, yakni aktivitas berladang.

Dalam tulisan ini, saya hendak menunjukkan bahwa aktivitas berladang itu adalah sebuah kearifan. Menyebutnya sebagai sebuah kearifan hendak mengatakan bahwa aktivitas berladang bukan hanya sebatas rutinitas. 

Dalam aktivitas ini terkandung nilai-nilai luhur, khususnya dalam menjaga keharmonisan dengan Sang Pencipta, sesama dan alam. 

Cara berladang yang dipraktekkan suku Dayak ialah sistem ladang berpindah. Umumnya lokasi lahan terletak di dataran tinggi. Sekilas sistem ini nampaknya bertentangan dengan upaya menjaga kelestarian alam. 

Karena itu, tidak heran para peladang acap kali dijadikan kambing hitam atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang sering mengakibatkan bencana asap di negri ini.

Bahkan beberapa waktu yang lalu ada 6 orang peladang di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, yang ditangkap oleh aparat kepolisian saat sedang membakar ladang.

Penangkapan tersebut sudah pasti hendak menunjukkan kepada publik: peladang adalah penjahat. Konsekuensinya sudah jelas, aktivitas berladang tidak boleh lagi dilanjutkan.

Keenam peladang itu lalu ditetapkan sebagai tersangka karena didakwa melakukan pembakaran hutan dan lahan. Atas perbuatan mereka tersebut, Jaksa Penuntut Umum menuntut 6 bulan penjara ditambah hukuman percobaan satu tahun.

Ketidakadilan yang menimpa peladang ini tentu saja mengundang penolakan yang keras dari banyak pihak, terutama kaum peladang. Sebagai bentuk dukungan moral terhadap keenam saudaranya, para peladang membentuk Aliansi Solidaritas Anak Peladang (ASAP). Mereka tidak kenal lelah memberikan dukungan. Mengabarkan kepada dunia bahwa peladang bukan penjahat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline