Kerap orang tua terjebak pada prinsip "membuat senang" daripada "menyelamatkan" anak. Padahal prinsip ini cukup berbahaya dan akan berisiko ke (masa) depan si anak.
Dua hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah seorang sahabat. Saya disambut dengan baik oleh dia dan istrinya. Mereka telah menikah dan dianugerahi (hanya) seorang anak laki-laki.
Mereka begitu menyayangi si anak. Saya bisa merasakan itu saat bertukar cerita selama kurang lebih satu setengah jam.
Namun, ada beberapa hal yang cukup mengganjal di hati dan pikiran. Pasalnya, si anak kurang bersikap ramah terhadap orang lain (tamu), cuek minta ampun, berpakaian tidak rapi, dan selalu minta dibeli ini dan itu.
Dari pihak orang tua, mereka sepertinya tidak tega untuk menegur atau memarahi si anak; maklum secara tidak logis, meng-iya-kan permintaan-permintaan si anak.
"Maklumlah, dia anak kami satu-satunya. Jadi, tak tega kami mau menegur atau bersikap keras padanya." ucap si istri. Sementara, sahabat saya itu hanya senyum dan memberi gestur setuju atas pernyataan istrinya.
Saya kurang setuju dengan pernyataan mereka. Karena, bagi saya mereka tengah menuntun anak itu ke jalan yang tidak baik. Mengapa?
Hanya membuat senang
Memang, ada perasaan dari dalam diri orang tua untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya. Apalagi jika hal-hal yang diberikan sungguh dibutuhkan; baik dalam pendidikan, pengembangan bakat, kerja tangan, dan sebagainya. Maka, otomatis, orang tua akan bekerja lebih gigih mendapatkan uang untuk membeli apa yang dibutuhkan.
Hanya, orang tua harus sungguh berhati-hati untuk tidak sampai pada pemahaman yang dangkal bahwa, "Asalkan mereka (anak-anak) senang, kami pun senang!". Logis saja, belum tentu rasa senang anak sungguh menjadi rasa senang orang tua.
Selain itu, "senang" itu masih sungguh dangkal soal suka atau tidak; belum sampai pada kesadaran menerima sesuatu baik positif maupun negatif sebagai hal atau keadaan yang dapat menghantar dia pada nilai yang baik dan benar secara moral.
Nah, maka orang tua akan condong untuk membuat anak senang saja! Maka, orang tua tidak memberikan edukasi yang tepat lagi untuk anak agar sampai pada sikap mandiri, kritis, selektif, dan daya juang yang tinggi.