Saat ini, Indonesia tengah diguncang dengan mencuatnya berita tentang kekerasan seksual; satu dilakukan oleh seorang dosen dan satu lagi dilakukan oleh seorang pemuka agama.
Kita perlu berefleksi atas kejadian ini. Dimana dua kekerasan seksual ini dilakukan oleh seorang akademisi yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan seorang pengajar hukum/dakwah/ajaran keagamaan. Kedua sosok tersebut seharusnya menjadi defender apa yang baik dan benar.
Akan tetapi, yang terjadi sebaliknya. Mereka justru memainkan peran utama sebagai pelaku kekerasan seksual. Betapa lagi, kaum awam di bidang dunia akademisi dan agama. Bisa saja terjerumus lebih jauh di dalam tindakan amoral tersebut.
Nikmat singkat
Ketika melakukan hubungan seksual (genital), tentu ada tingkat kepuasan atau kenikmatan yang diperoleh. Apalagi jika hubungan seksual terjadi di antara dua insan yang saling mencinta. Terlebih lagi, apabila hubungan yang terjalin sudah diikat secara resmi oleh agama, adat, dan sipil.
Akan tetapi, bagaimana jika hubungan seksual itu dilakukan dengan kekerasan atau paksaan?
Tetap ada kepuasan atau kenikmatan yang dirasakan. Hanya saja, yang merasakan kenikmatan itu satu pihak, yakni pelaku.
Sementara korban dari tindakan kekerasan seksual hanya mendapat aibnya, sialnya, dan malunya. Terutama, jika si korban berasal dari kelompok yang lemah dan telah menggantungkan hidupnya kepada pelaku.
Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, hanya pasrah dan berani menanggung akibat dari kejadian tersebut. Demikianlah yang terjadi pada dua kasus pelecehan/kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang dosen dan pemuka agama tadi.
Siksanya kekal
Akan tetapi, entah senikmat apa pun perbuatan maksiat dari si pelaku, tentu ada hukumannya. Bisa berupa hukuman secara sipil (dipenjara dan atau didenda) dan hukum dari ajaran moral-agama.
Tentu, setiap agama telah mengaturkan hukuman yang tepat - menurut pertimbangan moral dan agama - atas pelaku dan perbuatan maksiatnya. Orang tersebut akan menderita jiwanya di dunia akhir(at). Siksaan bersifat kekal, terutama bila perbuatan dilakukan secara sadar, tahu, mau, dan mampu, serta dilakukan berulang-ulang tanpa ada pertobatan yang keras.