Lihat ke Halaman Asli

Kurang Garam

Diperbarui: 26 Januari 2023   16:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seperti biasanya pagi itu aku enggan bangun lebih awal, kelopak mata yang semalam dipaksa tak berkedip didepan laptop serasa tak mau diajak kompromi. Bunyi sendal sang istri yg bersiap hendak mengajar pun seolah meminta agar tidurku lebih lelap. Sibungsu yang juga belum mau bangun malah berbalik tidur memeluk dan membuat gairah tidur semakin mendapat tempat. 

Pagi ini, seperti pagi yang lain, aku tetap harus bangun,.. 

"Bapa.. bapa, kopinya mau dibuatkan sekarang atau sebentar?" Suara lirih sang istri terdengar hangat. 

Dilema untuk sementara berkedut di dahi, tapi tawaran segelas kopi hangat tentu tidak bisa ditolak sekalipun oleh rayuan tidur pulas plus mimpi indah. 

Kata "kopi" menjadikan aroma pagi lebih baik, dan kantukku yang tersisa menjadi mubazir.  seandainya saja tak ada kata kopi mungkin tidur ini masih terus berlanjut. Seandainya saja tidak ada orang yang belajar menyeduh kopi dan tak ada minuman kopi, tidurku pasti tak terganggu. Tapi sudahlah. 

Dengan langkah berat aku beranjak dari dipan dan menggapai kopi yang dibuatkan "mama enu". Sempat terpikir beberapa konten yang menyarankan sebaiknya sarapan dulu baru minum kopi, tapi aroma kopi lebih kuat menggayut diotak. Sudahlah, ini cuma sekali aku minum kopi tanpa makan pagi, pikirku. tanpa kusadari, kalimat ini bahkan tiap pagi muncul dikepalaku. 

Selekas kopi pagi, rutinitas biasa berlanjut, bahkan minum kopi itu pun jadi aktivitas wajib yang sama saja artinya dengan rutinitas. Aku antarkan istri dan anak ke sekolah, dan kembali kerumah, kembali menatap laptop, sesekali main hp dan kadang melihat -lihat sekeliling rumah, mencari - cari pekerjaan yang mungkin bisa dikerjakan.

Pekerjaanku saat ini adalah guru, yang kata orang mendidik manusia menjadi manusia. Membingungkan memang tapi begitu adanya.  Pekerjaan guru biasanya dimulai dengan bangun pagi, mandi, bersiap dan berangkat sekolah sebelum jam tujuh. 

Itu yang seharusnya jadi rutinitas pagi seorang guru, tapi untukku dan beberapa guru lain didaerahku, punya "ritual" lain saat kesekolah. Kami kesekolah siang dan pulang sore. Alasannya sederhana, dan bisa ditebak, sekolah kami belum punya gedung. Aneh memang, di era modern dimana semua sekolah berlomba - lomba dengan peralatan TIK, kami masih disibukkan dengan meja kursi milik orang yang dirusak siswa. Yah, mau bilang apa, mungkin tantangannya harus sekeras ini. 

Berangkat sekolah, mata yang telah terbiasa enggan tidur siang, kembali minta kopi, katanya biar segar. Makan yang ala kadarnya karena terlalu cepat juga jadi cerita yang terlalu biasa untuk diistimewakan. Motor tua yg terus menemaniku melangkah ke sekolah tak luput untuk memutar rodanya mengantar memanusiakan manusia. 

Riuh renyah suara anak sekolah menyambutku perlahan memarkir kendaraan,.. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline