Selepas shalat jumat, saya dan dua orang rekan memulai perjalanan dari Kampung Ciwaluh, Desa Wates Jaya, Kabupaten Bogor. Rencananya kami akan berkemah ke Batu Keni, salah satu air terjun yang ada di wilayah hulu DAS Cisadane. Di daerah ini terdapat beberapa air terjun, yang hampir semuanya masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Beberapa waktu sebelumnya, saya pernah berkunjung ke air terjun yang berada paling bawah, masyarakat sekitar menyebutnya Curug Ciawi Tali. Dalam bahasa sunda, air terjun sering disebut juga dengan curug. Di Batu Keni, ada dua air terjun yang saling berkaitan, yaitu Curug Tilu dan Curug Opat. Antara Curug Ciawi Tali dan Curug Opat, terdapat Curug Sadane yang konon merupakan curug yang paling tinggi, dengan wilayah paling luas. Dari Kampung Ciwaluh, yang merupakan kampung paling ujung dari wilayah DAS Cisadane, perjalanan menuju Batu keni membutuhkan waktu sekitar dua jam. Baru berjalan sekitar sepuluh menit melewati persawahan, jalur kemudian berbelok dan menanjak. Dengan tubuh yang baru sedikit pemanasan, tanjakan dengan kemiringan sekitar tujuh puluh derajat cukup membuat dada sesak, sendi-sendi kaki ngilu, dan tentu saja keringat mengucur deras. Melewati tanjakan yang memakan waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai ke jalur yang datar lagi, saya sempat berhenti istirahat tiga sampai lima kali. Berjalan di hutan pinus Jalanan masih menanjak saat memasuki hutan pinus, meski dengan kemiringan yang lebih rendah, sekitar sepuluh sampai dua puluh derajat. Hutan pinus tersebut sekarang sudah merupakan wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, yang dulunya merupakan wilayah kelola Perum Perhutani. Di dalam kawasan konservasi TNGGP yang memiliki luas 22.851,03 hektar ini, kita masih bisa menemukan berbagai jenis fauna dan flora yang jarang ditemui di wilayah lain. Memasuki jalur dengan tutupan hutan hujan tropis pegunungan, kami menyempatkan diri beristirahat sejenak. Sambil melepas lelah dan dahaga, disini kita menikmati ragam pepohonan yang menjulang kokoh, yang memiliki usia ratusan tahun. Sesekali juga ada orang utan yang melompat di pepohonan, entah dari jenis apa. Kicauan burung yang beragam, menjadi backsound perjalanan yang menyenangkan. Setelah berjalan sekitar dua setengah jam, melewati berbagai tipe vegetasi, melipir menyusuri jalan setapak dengan sisi yang curam, menapaki tangga batu, akhirnya kami sampai ke Batu Keni. Istirahat sejenak, lalu kami memilih tempat nge-camp dekat sungai, dengan pertimbangan supaya mudah mengambil air. Karena tidak membawa peralatan lengkap, akhirnya kami mendirikan bivak dari tanaman paku-pakuan untuk tempat istirahat. Sekitar pukul empat sore, rumah kami akhirnya selesai dibangun. Sambil minum kopi hangat, kami beristirahat di sungai dekat camp. karena banyak batu dan cukup aman, tempat kami ngopi tersebut merupakan bibir atas dari Curug Tilu. Pengalaman yang jarang didapatkan bisa nongkrong diatas air terjun. Rumah dari tanaman paku-pakuan yang banyak terdapat di wilayah ini Namun sayang kami tidak beuntung kali ini. Menurut salah satu teman yang pernah kesini sebelumnya, dari tempat kami duduk, kita bisa menyaksikan matahari terbenam. Baru habis setengah gelas kopi yang kami minum, turun hujan. Akhirnya kami terpaksa kembali ke camp. Karena bivak yang kami bikin kecil, jadi saat hujan turun, rumah kami tersebut hanya digunakan untuk melindungi barang-barang kami saja supaya tidak basah. Kami putuskan berbasah kuyup karena tidak ada tempat berteduh. Bersantai menunggu sunset di bibir curug tilu Untuk menghangatkan badan, kami memasak mie rebus. Dalam guyuran hujan, ditengah hutan, mie rebus panas, dengan potongan cabe rawit dan saus pedas, adalah makanan paling nikmat. Kami sampai berkeringat saking lahapnya, padahal hujan sedang deras-derasnya. Hari mulai gelap saat hangat dari asupan makanan sudah berkurang, dan dingin mulai terasa kembali. Karena sebelumnya sudah menyiapkan kayu bakar, jadi kami mencoba menyalakan api ungun. Alhamdulillah api bisa menyala, meski dengan susah payah saat pertamanya. Baru sekitar pukul delapan malam hujan reda. Setelah membereskan tempat untuk tidur, bersih-bersih badan, akhirnya kami masak makan malam dan beristirahat. Suasana camp di pagi hari Makanan kami ; nasi liwet, ikan asin bakar dan goreng telur Esok hari, setelah sarapan, kami langsung bergegas menuju Curug Opat. Dari camp, curug ini sudah bisa terlihat, dan jarak dari camp sampai curug hanya membutuhkan waktu lima menit perjalanan saja. Meski dekat, jalan dari camp menuju curug cukup menyulitkan. Selain licin, jalanan juga tertutup ilalang cukup padat karena memang daerah sini sangat jarang dikunjungi. Selama perjalan pun, kami tidak bertemu dengan orang lain. Curug terlihat dari camp Curug ini memiliki ketinggian sekitar tiga puluh meter. Airnya sangat jernih dan dingin, kami yang semula mau mandi di kolam tepat dibawah curug, terpaksa mengurungkan niat karena tidak tahan dengan hawa dinginnya. Hanya dengan membasuh muka, merasakan hembusan angin dan cipratan airnya saja, sudah cukup membuat kulit kami menggigil kedinginan. Jalan menuju Curug Opat Curug Opat Curug Opat
Hanya sekitar tiga puluh menit kami menikmati Curug Opat tersebut. Setelah itu, kami lalu berkemas dan pulang.
Tulisan ini di posting juga di http://cisadaneupdate.blogspot.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H