Kak, kemping yuk?
Begitulah ajakan salah satu juniorku di kelompok pecinta alam di salah satu universitas di Bogor, lewatsms saat akhir pekan beberapa waktu lalu. Kemana? Jawabku pendek. Pokoknya yang deket-deket ajadeh, tapi ga jalan jauh, lagi males capek hehe..begitu dia menimpali. Tadinya aku memikirkan akanmengajak mereka pergi ke gunung Bunder, tapi sudah bosan pergi kesana. Lagipula saat weekendseperti ini pasti disana akan ramai. Lalu aku memutuskan kali ini akan kemping di bumi perkemahanSukamantri.
Bersama tiga orang teman, saya janjian di kampus selepas maghrib. Semua keperluan seperti tenda,kompor portable, nesting, tabung gas, dan logistik lainnya kami koordinasikan hanya lewat sms-an. Karena berbagai hal, akhirnya kami baru berkumpul sekitar pukul delapan. setelah mengecek semuakeperluan dan makan malam, sekitar pukul sepuluh kami berangkat dari kampus di daerah Dramaga. Dua sepeda motor yang kami kendarai berjalan santai menuju ke daerah Ciapus. Di pertigaanSukamantri kami mengambil arah ke kiri untuk menuju Buper Sukamantri. Jalanan mulai menanjak namun lumayan bagus sampai ke sebuah pabrik makanan ternak. Setelah melewati pabrik tersebut, ada sebuah kampung yang merupakan kampung terakhir sebelum Buper Sukamantri. Dari kampung tersebut, tanjakan mulai semakin curam dan jalanan pun jelek, tak ada aspal hanya bebatuan yang tak tersusun rapi. Kami pun harus hati-hati mengendarai motor agar tak jatuh terpeleset. Sekitar 15 menit dari kampung terakhir, kami melewati peternakan sapi milik mantan presiden Soeharto. Diatas peternakan sapi tersebut ada sebuah villa yang juga masih milik mantan orang nomor satu RI tersebut.jalan sebelum dan sesudah villa tersebut dihalangi oleh portal, sehingga kami harus meminta ijin kepenjaga untuk bisa lewat. Setelah melewati villa, ada beberapa belokan ke sebelah kanan yang menujuke sungai Ciapus. Saat siang hari, banyak masyarakat yang melakukan penambangan pasir di sungai tersebut.
Ada sebuah gerbang yang bertuliskan “ SELAMAT DATANG DI BUMI PERKEMAHAN SUKAMANTRI “ sebelum memasuki hutan pinus. Jalanan masih berbatu dan sekarang mulai berkelok-kelok mengitari hutan pinus tersebut. Sekitar pukul 23.30 kami akhirnya sampai di bumi perkemahan tersebut. setelah melakukan registrasi dan membayar tiket masuk dan menginap, sebesar Rp.12.500/orang, kami parkir motor di parkiran depan warung. Yah disana terdapat beberapa warung yang biasanya hanya buka padasaat akhir pekan seperti ini.
Sejenak kami melepas ketegangan setelah ber-off road ria di jalanan berbatu tadi dengan menghirup udara segar, dan menyapukan pandangan ke seluruh areal. Dari sisi sebelah kiri gerbang masuk, jauh dibawah sana, diantara celah lembah, kami melihat gemerlap warna-warni lampu. Yah itulah kota Bogor. Kota yang terkenal sebagai kota hujan, namun titik-titik air hujannya tak mampu meredam panas yang ditimbulkan dari polusi asap-asap sejuta angkot.
Udara dingin mulai menelusuk tulang. Kami hanya melihat satu tenda yang berdiri saat itu. Karena kontur tanahnya yang bertingkat, kami memutuskan untuk mendirikan tenda di dataran yang paling bawah. Karena dari sana kami akan sanngat puas memandang gemerlapnya kota bogor, dan kalau beruntung kami berharap mendapat sunrise yang akan muncul di celah lembah itu. Kami berbagi tugas mendirikan tenda, memasak, mengambil air dan mencari kayu bakar. Tenda berdiri, air sedang dimasak,hanya tinggal menunggu kayu bakar. Sambil menyalakan api ungun, menikmati kopi sembari menghisap rokok kretek, rasanya sungguh luar biasa. Berbeda dengan weekend biasanya yang hanya dihabiskan dimeja bilyar, kafe dengan live music, 21cineplex, dan hegemoni kehidupan kota lainnya.
Karena perjalanan yang cukup melelahkan, perut yang tadi sudah diisi dengan makan malam pun menjadi keroncongan lagi. Akhirnya alat masak dan logistik pun dikeluarkan. Tak lama kemudian tercium aroma pisang yang dibakar diatas nesting, dengan olesan mentega, dan membuat cacing-cacing dalam perut meronta tak sabaran. Diatas gelaran matras, dengan ditemani kopi, pisang bakar dengan ditaburi parutan keju dan meses, kami bercengkrama menghadap lembah. Berbagi pengalaman, berkisah cerita..yah sudah lama kami tidak melakukan kegiatan outdoor ini, hanya berempat. Terakhirkami melakukan seperti ini di gunung Rinjani Lombok, saat tutup tahun 2008.
Rasanya enggan untuk cepat-cepat melewatkan saat yang sangat menghangatkan seperti ini. Meski jujur udara terasa semakin dingin. Udara lembah yang menerpa, hanya kami lawan dengan jaket danselembar kain pantai. Embun yang perlahan mulai turun, tak mampu membuat retina mata kami untuk cepat menutup, dan bersembunyi di sleeping bag di dalam tenda. Kami masih menikmati kopi, kamimasih menikmati pisang bakar, dan kami masih ingin berbagi kehangatan cerita dan api ungun. Tak terasa waktu di hp menunjukkan angka 03.13 sebentar lagi pagi. Niat hati ingin menunggu sunrise, ternyata tak begitu kuat melawan kodrat manusia yang membutuhkan tidur untuk mengaturmetabolisme tubuh. Dua teman perempuan saya mulai menyerah, bersembunyi di balik sleeping bag,lalu terlelap dalam tenda. Sementara saya masih ingin menikmati malam, dini hari mungkin tepatnya, dengan seorang teman laki. Kami bikin kopi lagi, karena udara semakin dingin. Semakin kencang angin menerpa, maka semakin kuat seruputan kopi, dan semakin dalam pula hisapan rokok.
Tak terasa saya mulai terbius dengan dinginnya udara, dan tanpa sadar saya mulai terlelap. Hanya suara gaduh dari para perempuan saja yang akhirnya membangunkan saya kembali. Sekitar pukul 05.30,waktu yang seharusnya sang mentari muncul dari peraduannya, ternyata tak tampak. Sejam kamimenunggu sang bidadari cahaya tersebut, namun tak kunjung datang. Hanya gumpalan awan yang terlihat di ujung timur sana. Kami memang belum beruntung kali ini..
Tak lantas kami mengobati kekecewaan dengan menyelinap lagi ke dalam tenda dan bersembunyi dikantung tidur. Air yang mengalir di bak mandi terasa seperti baru dikeluarkan dari freezer, dinginn. Namun itu tak menyurutkan saya dan teman-teman untuk mengambil wudhu, lalu melakukan penghambaan kepada sang pencipta. Saya pun melanjutkan dengan memasak air, untuk menyeduh kopi.Lalu kami pun mulai larut dengan lamunan masing-masing. Dengan memandang kearah celah lembah yang perlahan mulai menyibakkan keruwetan kota Bogor.
Udara dingin membuat perut saya cepat lapar. Untuk menemani kopi hangat, saya menikmati pisang bakar sisa semalam. Lumayan, meski sudah agak keras hehehe..kembali saya terlena dalam lamunan. Hanya kepulan asap, yang menari-nari diterpa angin. Kadang nyanyian burung yang sesekali mengiringi. Begitu pula dengan teman yang lain, semuanya asik terbuai dalam dunia imaji. Tak tahu apa yang ada difikiran masing-masing, namun kami sangat menikmati weekend ini..menikmati Bogor diantara celah lembah bumi Sukamantri..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H