Kita sepakat bahwa masjid adalah rumah Allah yang mejadi sarana ibadah umat muslim. Selain itu, fungsinya juga sebagai pusat dakwah, pengajaran agama, pembinaan moral serta menjadi sentrum peradaban Islam. Tentu implikasinya kewajiban kita menjaga puritansi masjid itu sendiri dari segala aspek yang bersifat merusak bahkan ketika kita ingin mendapat predikat "beriman" kita wajib memakmurkan masjid tersebut.
Pengejawantahan beriman pada konteks memakmurkan masjid harus diinterpretasikan secara proporsional. Konsepsi bahwa beriman bukan hanya berkutat pada lingkup teologis (sholat dan ngaji di masjid) karena itu sudah jelas makna dari memakmurkan. Namun yang terpenting bahwa memakmurkan itu menyentuh dimensi realitas fisik masjid itu sendiri seperti membangun masjid, memperindah masjid, menambah fasilitas masjid. Orientasinya membuat kenyamanan seorang beribadah di dalam masjid.
Berbicara soal pembangunan masjid, tak terlepas dari awal mula perencanaannya, mulai pemilihan lahan yang akan dibangun, status lahan, proses pengalihan lahan dari pribadi menjadi wakaf serta rencana pengadaan material melalui sumbangan donatur dan swadaya masyarakat, biasanya dalam pembangunan masjid ini dikordinir oleh panitia. Tak ayal juga sebagian donatur menjadikan porsi prioritas dalam pembangunan masjid karena ini sebagai media untuk mendermakan hartanya yang dinilai akan menjadi penolong kelak pada hari akhir nanti.
Sebagai makhluk sosial, tak jarang kita temukan dinamika pada proses pembangunan masjid seperti kekurangan biaya yang berdampak lamanya target pembangunan hingga adanya konflik internal yang menyebab terbengkalainya pembangunan dan segudang problematika lain yang muncul sebagai wujud dari perbedaan kepentingan dalam relasi antar individu, akhirnya berdampak pada instabilitas sosial, terganggunya ketenangan umum hingga konflik horizontal.
Dalam hal ini, saya ingin menyoroti kasus masjid Jami' Nurul Islam Koja yang terletak di Jalan Cipeucang II Kelurahan Koja Kecamatan Koja Jakarta Utara dengan problematikanya menjadi perhatian serius berbagai stakeholder karena konflik yang usianya hampir 12 tahun lebih sejak penyerahan status bangunan kepada jemaah agar dikelola bersama hingga saat ini belum menemukan titik solusi yang jitu justru perkembangan perkara ini makin meluap ketika bulan Ramadhan tiba.
Bahkan saat mau tiba bulan Ramadhan tepatnya tanggal 14 bulan Maret kemarin, publik sontak menjadi heboh dan viral di media sosial lantaran pemilik tanah atas nama Haji Nur Alam diduga hendak melakukan penutupan akses masjid bahkan sudah menurunkan material bangunan di lokasi masjid dan melakukan pengukuran yang menandakan proses penutupan akan dilaksanakan. Adanya rencana penutupan ini yang membuat warga dan jamaah geram hingga melakukan pengusiran terhadap tukang bangunan.
Tak lama, haji Nur Alam pun datang pada saat keributan berlangsung yang semula ingin mendudukkan persoalan namun malah memaki-maki jamaah dan percekcokan dengan jemaah tak terhindari karena sama-sama mengunggulkan pandangan egosentrisnya. Fenomena ini menjadi sorotan publik bahkan pejabat kelurahan dan aparat penegak hukum tiba dilokasi untuk menenangkan situasi dan melakukan mediasi antar jamaah dan haji Nur Alam, namun tak kunjung terlaksana.
Berawal dari kasus tersebut, saya ingin mengurai secara objektif histori problematika yang terjadi dari awal pembangunan hingga saat ini yakni konflik antar jamaah dan haji Nur Alam karena bagaimanapun implikasinya bukan hanya menyangkut hubungan sosial warga (jamaah) dengan pemilik tanah tetapi hubungan vertikal dengan Tuhan YME, agar momentum ritual ibadah di dalam masjid terlepas dari bayang-bayangan konflik.
Quo Vadis masjid Jami Nurul Islam ini atau mau dibawa kemana konflik masjid ini, atau sampai kapan konflik ini mencapai tahap ending, dapatkah terjadi ishlah antara haji Nur Alam dan Jamaah. Pertanyaan ini yang perlu didesak untuk menemukan jawabannya dan perlu juga strategi resolusi yang tepat agar konflik antar jamaah dengan Haji Nur Alam dapat terurai menjadi solusi bersama.
Rangkaian Histori Awal Pembangunan
Sebelum kita lebih jauh mendapatkan jawabannya, perlu kiranya flashback mulai dari urutan awal tahun pembangunan masjid jami Nurul Islam Koja, hingga mulanya muncul ketegangan antara panitia-jemaah dengan haji Nur Alam.