Lihat ke Halaman Asli

foy ario

Guru di SMAN 44 Jakarta

Refleksi Kritis tantang Hari Guru, antara Janji manis, Ironi, dan Realitas

Diperbarui: 25 November 2024   08:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Refleksi Kritis tentang Hari Guru: Antara Janji Manis, Ironi, dan Realitas

Hari Guru seharusnya menjadi momen penghormatan terhadap profesi mulia yang membentuk generasi penerus bangsa. Namun, sering kali perayaan ini terjebak dalam simbolisme dangkal yang jauh dari esensi penghargaan sejati. Janji-janji manis yang dilontarkan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru seringkali hanya berhenti pada wacana. Misalnya, isu kenaikan gaji Rp2 juta yang dihembuskan bertahun-tahun lalu masih belum terwujud. Guru terus berharap, meski tahu harapan itu sering kali berujung pada kekecewaan.

Ironi muncul ketika guru sendiri, tanpa sadar, turut menjadi bagian dari eksploitasi simbolis ini. Dalam berbagai perayaan, tak jarang guru diperlakukan seperti objek hiburan: dipakaikan kostum lucu, dipamerkan dalam acara yang lebih mengundang tawa daripada rasa hormat. Guru tersenyum, bahkan tertawa, mungkin sebagai bentuk penerimaan. Namun, di balik itu, apakah tersimpan luka batin karena profesi mereka tak dilihat dengan kebanggaan yang seharusnya? Apakah mereka benar-benar bangga, atau justru menjadi bahan candaan?

Di sisi lain, ada masalah internal yang juga perlu dikritisi. Tidak dapat disangkal, masih ada guru-guru yang culas, yang hanya menjalankan tugas seadanya, tanpa dedikasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Mereka mengakali sistem, bekerja sekadarnya, dan tidak peduli untuk mengikuti perkembangan zaman. Padahal, di kelas, murid-murid membutuhkan guru yang menjadi fasilitator pembelajaran aktif dan relevan. Ketika guru gagal beradaptasi, korban utamanya adalah siswa---generasi yang seharusnya kita siapkan untuk masa depan.

Namun, tidak adil juga jika semua guru digeneralisasi. Masih banyak guru yang mengabdikan diri sepenuh hati, meski dihimpit oleh keterbatasan. Mereka mengajar dengan segala cinta, menginspirasi murid-muridnya, meski kesejahteraan mereka sering diabaikan. Di tengah ketidakpastian ekonomi dan minimnya penghargaan, mereka terus berjalan, menjadi pelita dalam gelap.

Kebijakan yang berkaitan dengan guru perlu didesain ulang dengan fokus pada esensi profesi ini: mengajar dan mendidik. Janji kesejahteraan harus diwujudkan, bukan sekadar menjadi alat politik. Selain itu, perayaan Hari Guru perlu didorong ke arah yang lebih bermakna, menjunjung tinggi martabat dan peran guru sebagai arsitek masa depan, bukan sekadar pengisi acara seremonial.

Akhirnya, Hari Guru seharusnya menjadi pengingat akan tanggung jawab kita semua---pemerintah, masyarakat, dan guru itu sendiri---untuk memperbaiki ekosistem pendidikan, demi masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Guru bukanlah simbol untuk dipermainkan, tetapi jiwa bangsa yang harus dihormati dengan tindakan nyata, bukan sekadar janji manis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline