Lihat ke Halaman Asli

Haji, Antara Rasa Ketakutan “Ditabok”, Ritual Fisik dan Ritual Kalbu

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Ketika melepas kepergian keluarga maupun rekan-rekan yang berangkat menunaikan ibadah haji, selalu saja saya merasakan keharuan yang sangat, mengharapkan beliau-beliau diberikan kelancaran ibadah dan pulang haji dalam keadaan mabrur, sambil (malu-malu tahu diri) berharap menghiba “Ya Allah semoga Engkau juga berkenan segera memanggilku kesana”.

Tidak semua muslim beruntung diberkahi kesempatan menunaikan ibadah haji. (Hampir) semua muslim tahu bahwa ibadah haji wajib dilaksanakan oleh muslim yang mampu, baik secara finansial maupun fisik. Namun meskipun telah memiliki keduanya, tidak semua muslim dapat segera memperoleh timing melaksanakannya, misalnya karena sistem antrian yang panjang. Pun kadang belum terketuk dan tergerak untuk menegakkannya, misalnya karena sudah phobia duluan mengingat dosa-dosanya di masa lalu. Takut di tanah suci nanti mendapatkan pembalasan “kontan”. Takut di sana tersesat lah. Takut di sana ditabok jin lah. Heleh, kebanyakan denger cerita “katanya katanya” dan nonton sinetron Adzab Ilahi nih.

Haduh sayang sekali. Kalau sudah su’udzan duluan, ya bisa saja Dia beneran menuruti prasangka hambaNya. Orang kita di sana itu tamu Allah, ya berbaik sangka lah, karena Allah itu Maha Baik. Perkara di sana ternyata kita mendapatkan “jeweran”, “tabokan”, bahkan adzab (naudzubillah mindzalik... semoga Allah mengampuni), ya sudah. Mungkin itu lebih baik karena “hutang” kita bisa terbayarkan di dunia.

Bagi saya, tentu malah lebih sedih jika di sana “dicuekin”. Meski sedang melaksanakan ibadah, hati tidak tergetar sedikitpun. Sekedar ritual fisik. Tidak ada kesan sesuatupun yang membekas di kalbu. Garing. Malah ribut melulu soal fasilitasi akomodasi. Sampai di tanah air tidak juga membuat perilaku diri menjadi lebih baik, malah menjadi-jadi slebornya. Eh tapi kenapa kok aman-aman saja. Itu namanya dicuekiiiiiin....

Mencoba bermuhasabah, mungkin kelakuan kita memang amit-amit selama ini. Sering dzalim sama hak orang. Ribut kesalehan ritual namun abai kesalehan sosial. Berlomba-lomba mempermegah bangunan masjid namun kosong ruhnya, sementara di sekeliling kita masih buanyaak yang susah sekadar beli beras sekilo. Atau karena uang yang dipakai berhaji uang “panas”. Atau karena niat kita yang harus dipertanyakan. Berhaji untuk apa?

Ya iyalah, suka-suka orang yang melaksanakannya dong... Mau karena ingin mendapat rahmahNya, atau karena ingin mendongkrak status sosial, sehingga ngamuk-ngamuk kalau tidak disapa dengan sebutan Pak Haji Bu Hajjah, apa urusan ente? Dalamnya hati siapa yang tahu, selain sang empunya dan Yang Membuatnya. Hidup memang pilihan kok....

* Image dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline