Lihat ke Halaman Asli

Fotarisman Zaluchu

Dosen Universitas Sumatera Utara

Novanto, Segitu Saja

Diperbarui: 13 Desember 2017   20:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhirnya Setya Novanto resmi menjadi terdakwa. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor memaksa Novanto mendengarkan dakwaan kepadanya, setelah upaya terakhir Novanto sia-sia saja.

Apa upaya Novanto?

Sejak sidang dimulai, Novanto terkesan mengulur waktu. Ia berperilaku aneh. Linglung, tidak merespon, membisu tetapi anehnya mampu berjalan dan mengeluhkan diri diare. Bukan hanya itu, ia juga sanggup makan siang. Drama itu kemudian masih ditingkahi oleh upaya mencoba meminta pengertian majelis hakim agar Novanto diperiksa ke rumah sakit lain. 

Tapi apa daya, upaya Novanto segitu saja. Sebelumnya ia berhasil menunda kehadiran dirinya di persidangan itu. Pertama ia berhasil memenangkan sidang pra-peradilan. Kedua, ia menunda penahanan dengan cara menghilang. Ketiga, ia mengajukan pra-peradilan baru. Tim pengacaranya juga berkoar-koar di media massa, membangun framing jika Novanto dizhalimi.

Sayangnya, semuanya harus berakhir. Majelis hakim memulai sidang dengan terdakwa di kursi pesakitan: Setya Novanto, sang mantan Ketua DPR dan yang sebentar lagi akan "selesai" dari kursinya sebagai Ketua Partai Golkar. Statusnya sebagai terdakwa mengharuskan dia suka atau tidak suka untuk melepaskan dua posisi yang sempat coba diaturnya dari dalam penjara. Meski mengaku sakit, Novanto ternyata sehat sehingga meminta untuk tidak dicopot dari kedudukannya di partai dan di parlemen. 

Tapi semuanya kemudian tak berpihak pada Novanto.

Novanto habis sudah. Berada dalam penjara membuatnya tak bisa menyaksikan jika Partai Golkar sekarang sedang seru. Petinggi partai beringin memperebutkan kursi Ketua Umum. Dan di parlemen, kursi Ketua DPR kini menjadi pertarungan di kalangan internal Partai Golkar maupun politisi Senayan. 

Novanto sudah tidak bisa apa-apa lagi. Mulai hari ini Novanto resmi dan harus menjadi terdakwa. Ia harus duduk mendengarkan dakwaan kemudian tuntutan Jaksa KPK atas tuduhan terlibatnya ia dalam korupsi e-KTP. Nama Novanto disebut-sebut oleh semua saksi bahkan terdakwa di pengadilan, sebagai sosok yang mengatur mekanisme pengadaan anggaran, bahkan pelaksanaan kegiatan e-KTP yang merugikan negara trilyunan rupiah itu. 

Sebelumnya ramai-ramai para pejabat menolak menerima uang dari korupsi e-KTP ini. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, masing-masing justru mengembalikan dana ke KPK. Dari sini kita menyaksikan bagaimana para pihak yang mungkin secara langsung atau tidak langsung mengamankan korupsi tersebut kemudian "melarikan diri" dari tanggung-jawab. Mereka membiarkan mereka yang telah berada dalam kasus ini menjadi pelaku sendiri. Ramai-ramailah mereka, utamanya anggota DPR, menolak turut bertanggung-jawab. 

Itulah yang kini akan dialami oleh Novanto. 

Ia akan segera kehilangan mereka yang selama ini bersamanya, tetapi kini berbalik meninggalkannya. 

Novanto akan mempertanggung-jawabkan tunduhan tersebut tentunya tanpa akan ada lagi yang bersedia menyatakan bahwa mereka pun turut melakukan tindakan itu. Novanto, hanya akan menjadi sosok yang tak lagi bisa melakukan apa-apa. Ia harus berkutat menyelamatkan dirinya sendiri dengan melakukan pembelaan, di tengah terang benderangnya keterlibatannya. 

Novanto segitu saja sudah. 

Ia kehilangan kekuasaan politik, kekuasaan atas hukum, dan kelak kekuasaan atas uang. 

Berkali-kali kita menyaksikan bagaimana Novanto bisa berkelit dari beragam kasus yang menimpanya. Ia seolah begitu mudah lepas. Yang paling kentara adalah dalam kasus "Papa minta saham". Kursinya di DPR sempat lepas, tetapi ia kemudian comeback. Ia seolah sosok yang tak tersentuh hukum apapun. Ia juga bisa mengatur jagad politik di partainya dan di parlemen. 

Tapi apa ia bisa membeli semuanya.

Nyatanya tidak.

Ia kini berhadapan dengan sosok-sosok Majelis Hakim yang lebih memilih menggunakan nuraninya, daripada terpengaruh oleh belas kasihan atas sesuatu yang coba diulur-ulur oleh Novanto. Majelis Hakim Tipikor ini kelihatannya juga telah melihat bahwa Novanto sudah memasuki masa akhir. Senjakala Novanto sudah di depan mata, maka Majelis Hakim pun tak lagi menunda. Mereka memilih menuntaskan semua drama ini dan memutuskan untuk mendudukan Novanto di kursi yang sejak lama dihindarinya. 

Novanto mungkin selama ini lupa. Selama 32 tahun Soeharto berkuasa akhirnya jatuh juga. Mereka sama-sama kader tertinggi Golkar, yang akhirnya dilengserkan. Novanto terlambar belajar bahwa setinggi-tingginya kekuasaan, pasti akan ada masa senjakala. Manuver dan pembunuhan karakter politik amat mudah terjadi di negeri ini. Novanto kehilangan teman-temannya, pengacaranya, dan sebentar lagi mungkin ia akan kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri.

Novanto, segala sesuatu di kolong langit ini, akan selalu ada akhirnya.  

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline