Lihat ke Halaman Asli

Fotarisman Zaluchu

Dosen Universitas Sumatera Utara

Penentu Pilkada DKI Jakarta

Diperbarui: 10 Februari 2017   11:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Harian KOMPAS baru saja merilis survei tentang pilihan warga DKI Jakarta. Survei tersebut memberi informasi penting mengenai elektabilitas ketiga kandidat yang bertarung memperebutkan posisi DKI-1 dan DKI-2. Survei tersebut menarik karena KOMPAS menggunakan responden yang sama, yaitu yang juga diwawancarai pada bulan Desember 2016. 

Berdasarkan hasil survei tersebut terlihat sebuah pola yang sangat signifikan. Untuk pasangan no urut 2, Ahok-Djarot, terjadi loncatan yang sangat signifikan. Jika survei sebelumnya mereka hanya memperoleh elektabilitas sebesar 33 persen, di Februari 2017 mereka menduduki posisi pemuncak dengan elektabilitas sebesar 36 persen. 

Pasangan no urut 1, Agus-Sylvi yang pada Desember 2016 menduduki urutan 1, kini bersaing ketat dengan pasangan no urut 3, Anies-Sandi. Pasangan Agus-Sylvi yang sebelumnya enteng di elektabilitas 37 persen, melorot ke angka 28 persen. Posisi tersebut bersinggungan dengan pasangan no urut 3 yang kini naik signifikan dari Desember 2019 yang hanya 19 persen. 

Elektabilitas tersebut memang masih kurang menggambarkan kondisiriil karena pertukaran suara masih mungkin terjadi. Namun KOMPAS mencatat bahwa swing voters ini lebih rawan terjadi pada pasangan no urut 1, Agus-Sylvi. Mereka bisa kehilangan proporsi pemilih mereka sampai 38 persen. Demikian juga dengan swing voters-nya Anies-Sandi yang mencapai 23 persen. Swing votersnya Ahok-Djarot tercatat paling kecil, 15 persen. 

Dengan demikian, maka persaingan akan semakin ketat. Pasangan no urut 1 jelas-jelas berada dalam keadaan terancam. Proporsi pemilih mereka masih sangat “mengapung”. Mereka bisa menjadi target dari perpindahan dukungan. Mengapa? 

KOMPAS (10/2/2017) memberikan penjelasan bahwa latar belakang pemilih Agus-Sylvi dan Ahok-Djarot adalah pemilih kelas menengah ke atas. Sebaliknya pemilih Anies-Sandi adalah kelompok pemilih kelas menengah ke bawah. Pemilih kelas menengah ke atas jelas lebih rasional. Mereka akan segera menentukan pilihan, setelah mereka mempertimbangkan pilihan tersebut dengan matang,termasuk debat terakhir. Maka jika Agus-Sylvi lebih mengutamakan debat yang normatif, bersiaplah mereka ditinggalkan oleh pemilih potensialnya. Kemana suara tersebut akan beralih? Kemungkinan ke pasangan nomor urut 2 karena selama ini kampanye mereka terkesan lebih rasional. 

Pasangan no urut 2 juga akan diuntungkan oleh masih besarnya swing voters dan pemilih yang belum menentukan pilihan ini. Jumlahnya bukan main-main, 28 persen! 28 persen ini adalah pemilih yang tadi, kelompok menengah ke atas dan berpendidikan memadai. Jelas mereka bukan kelompok yang bisa dikacangin dengan memberikan bantuan yang tidak masuk akal. Justru mereka adalah kelompok yang lebih banyak mikir daripada hanya membawa perasaan. 

Maka dapat dipastikan jika penentu hasil Pilkada DKI Jakarta ini adalah ke-28 persen ini.  Merekalah yg kelak akan menentukan perolehan suara ini akan dimenangkan oleh siapa dan akan berlanjut atau tidak ke putaran kedua.

Bayangkan kalau seluruhnya pemilih ini diraup oleh Ahok, maka 36persen + 28 persen, selesailah Pilkada Jakarta satu putaran dengan kemenangan di Ahok-Djarot. Kalau limpahan suara penentu itu mengalir ke rivalnya secara penuh, maka tak satupun yg akan menang. Putaran kedua harus dilangsungkan. Jika 28 persen itu dibagi proporsional sesuai dengan besaran elektabilitas saat ini,maka Ahok-Djarot akan mendapatkan angka 47 persen. Pilkada putaran kedua pun harus dilangsungkan. Kecuali Ahok-Djarot masih bisa meraup dukungan dari swing voters pasagan lain, maka Pilkada yang menghebohkan ini hanya akan berlangsung 1 putaran saja.  

So, Pilkada DKI Jakarta ini memang menarik. Penentunya ternyata bukan massa yg hanya manggut2 dibagiin jam tangan dan kaos-kaos. Penentunya justru mereka yg terdidik, yang mungkin tidak ikut berada di lapangan meramai-ramaikan. Mereka justru adalah mereka yg punya nalar, menggunakan rasio. Mereka mungkin sedang duduk-duduk membaca media sosial dengan baik, menggunakan akal sehatnya dengan melihat fakta-fakta yang mereka bisa rasakan dan lihat. Mereka adalah kelompok yang melihat debat terakhir lebih kepada kontent daripada sekedar narasi tanpa program kongkrit. Mereka-mereka inilah yang akan menentukan siapa Gubernur DKI Jakarta mendatang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline