Lihat ke Halaman Asli

Warisan Hukum Nusantara: Mengungkap Jejak Kitab-Kitab Hukum dari Era Hindu-Buddha hingga Majapahit

Diperbarui: 10 Juli 2024   21:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar HS

JOMBANG - Dalam karya "Sapta Parwa" yang ditulis oleh Profesor Muhammad Yamin, tercantum sejumlah undang-undang yang berlaku pada zaman Hindu-Buddha. Beberapa di antaranya adalah peraturan perundang-undangan dari kerajaan Singhasari dan Majapahit. Salah satu kitab hukum yang sangat dikenal dari masa itu adalah "Kutaramanawa". Kitab ini merupakan kombinasi dari dua buku hukum kuno, yakni "Kutara" karya Bhregu dan "Manawa" karya Manu. Selain menggabungkan dua kitab tersebut, "Kutaramanawa" juga berisi tatanan hukum yang berkembang dalam masyarakat secara turun-temurun pada masa itu.

Pada masa lalu, istilah 'agama' tidak memiliki makna seperti saat ini yang berkaitan dengan kepercayaan tertentu. Kata 'agama' pada masa itu lebih merujuk pada "cara pendekatan" atau "tradisi" dalam sejumlah terjemahan bahasa Jawa kuno. Di masa Majapahit, istilah 'agama' sering kali diartikan sebagai "kekuasaan" atau "hukum", dan kemudian digantikan oleh istilah "dharma".

Di Majapahit, terdapat jabatan dharmadyaksa kasogatan dan kasaiwan yang merupakan pejabat yang mengurus urusan agama Buddha dan Siwa. Wilayah Nusantara, khususnya Majapahit, pada masa itu memiliki pengaruh kuat dari India, termasuk dalam bidang dharmastra atau hukum agama. Berbagai pasal hukum agama diterjemahkan dan diadaptasi dari peraturan perundang-undangan Manawa. Namun, menurut PhD Slamet Mulyana dalam bukunya "Hukum Majapahit", Raja Majapahit, Rajasanagara atau Hayam Wuruk, tidak sembarangan dalam menerapkan hukum tersebut, melainkan melakukan penyesuaian dan perubahan tergantung pada keadaan.

Bukti dari keberadaan kitab hukum dari masa kejayaan Majapahit ditemukan dalam lontar berbahasa Jawa kuno. Kitab tersebut tampaknya juga disebutkan dalam Nagarakertagama, tepatnya pada Pupuh 73 baris pertama, yang menegaskan bahwa raja tidak sembarangan dalam menjalankan istana dan tetap menganut 'agama' atau hukum. Sebagian besar konten kitab tersebut mencakup hukum pidana dan pengadilan, seperti yang tergambar dalam lagu sorandaka. Kitab ini digunakan untuk mencela Sorandaka atau Lembu Sora atas kematian Kebo Anabrang dengan ancaman hukuman mati. Selain memuat hukum pidana, kitab ini juga mengungkapkan sejumlah hukum perdata yang terdiri dari 275 pasal.

Kitab Adigama, menurut Sapta Parwa, ditulis oleh Profesor Muhammad Yamin pada tahun 1323 Saka oleh Raja Majapahit, Prabu Wikramawardhana, yang memerintah dari tahun 1389 hingga 1429. Kitab ini mencantumkan peraturan yang harus dilaksanakan oleh gubernur, tuan, dan kanaka pada masa itu. Adigama memiliki banyak kesamaan dengan Kutaramanawa dan menunjukkan karakteristik unik serta kuno. Informasi mengenai Adigama juga ditemukan di situs Perpustakaan Nasional, yang mencatat bahwa terdapat lontar yang disebut Adigama dan disalin pada tahun 1713 Saka atau tahun 1791 Masehi. Naskah ini merupakan naskah hukum kerajaan Daha dan Majapahit yang disusun oleh Prabu Dandang Gendis.

Buku berikutnya adalah Rajapatigundala, yang berisi aturan tentang cara membuat Yogiswara, Dewaguru, Wiku, dan Kili, termasuk perbedaan antara kaum Brahmana di Pulau Jawa dan Brahmana dari negara lain. Buku ini juga memuat informasi tentang pancapatapan seperti prthiwi, hapah, teja, bayu, dan hakacya. Nama-nama dewa diberikan dan Sri Maharaja Paduka Kertanagara disebutkan, menunjukkan bahwa buku ini mungkin disusun setelah tahun 1275. Kitab ini juga disebut dalam Nagarakertagama Pupuh 81 sebagai Patigundala.

Kitab Sewasasana merupakan naskah yang berisi sketsa tentang Sasana atau aturan yang menjadi panutan bagi pengikut Siwa. Kitab ini disebutkan dalam lontar Tantu Panggelaran dan prasasti Sendang Kamal, Magetan, yang berkaitan dengan kerajaan Medang. Pada waktu itu, raja memberikan hadiah kepada samgat kanuruhan yang disebut mpu Burung dengan memperhatikan kode Sesasasana atau Sang Hyang Siwasana, yang isinya berkaitan dengan hak-hak pemuka agama Siwa terhadap raja.

Kitab Sarasamuscaya merupakan kitab yang penuh dengan bunga rampai sila agama, termasuk peraturan tentang papitapitan atau peraturan mendirikan rumah, terutama yang dikelilingi oleh sungai. Kitab ini juga dikenal sebagai rajaniscaya dan termasuk dalam kelompok kitab hukum yang disusun pada masa Majapahit.

Kitab Purwadigama merupakan kitab hukum Hindu yang di Pulau Bali dikenal dengan sebutan UU Purwa. Berdasarkan komposisinya, kitab ini tampak menyerupai sebuah prasasti karena memuat nama pejabat pemerintah, agama, peradilan, hak raja, dan sumpah. Kitab ini lebih merupakan buku dengan aturan agama yang berfungsi sebagai pedoman bagi rakyat dan pemimpin agama Siwa.

Demikianlah risalah singkat mengenai kitab-kitab hukum pada zaman Hindu-Buddha yang disusun oleh Profesor Muhammad Yamin dalam karya "Sapta Parwa". Alangkah baiknya baca lengkap di buku "Tatanegara Madjapahit = Sapta Parwa" karya Muhammad Yamin. Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan & Kebudayaan di Jakarta pada tahun 1960, buku ini dengan ISBN 97970055522 berfokus pada Hukum Tata Negara (Majapahit). Buku "Tatanegara Madjapahit" berisi Risalah Sapta Parwa yang terdiri dari 7 jilid atau parwa, hasil penelitian ketatanegaraan Indonesia yang menggali dasar dan bentuk negara Nusantara yang dikenal sebagai Majapahit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline