Lihat ke Halaman Asli

Bali Menjinakkan Anjing Gila

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Di musim panas yang lalu saya sangat beruntung mendapatkan kesempatan melakukan internship di Bagian Kesehatan USAID (United States Agency for International Development) di Jakarta. Mengapa beruntung? Pertama, bisa pulang kampung gratis (maklum, mahasiswa). Kedua, persaingan untuk memperoleh posisi internship ini sangat ketat dan, ketiga, saya bisa belajar banyak mengenai apa yang mungkin akan menjadi bidang keahlian saya di masa yang akan datang: kesehatan global.

USAID sebenarnya sudah sangat lama berada di Indonesia dan merupakan salah satu lembaga donor yang sangat aktif mengucurkan dana bantuan, bukan pinjaman, untuk pembangunan berbagai bidang di Indonesia. Di bidang pendidikan mungkin Anda pernah mendengar, atau bahkan menjadi penerima, beasiswa USAID. Di bidang kesehatan, Indonesia merasakan manfaat bantuan USAID dalam keberhasilan program Keluarga Berencana di era Presiden Suharto, yang membawa Indonesia menjadi teladan dunia di bidang yang satu ini. Selain itu, USAID di Indonesia juga bekerja di bidang lingkungan hidup, ekonomi dan pemerintahan.

Kebetulan, sewaktu saya menjalani internship, pemerintah Amerika memberikan bantuan sebesar US$500,000 untuk membantu upaya pengendalian rabies di Indonesia, lebih tepatnya di Bali. Untuk itu, sejak tanggal 21 sampai 23 Juli yang lalu saya berada di Bali untuk mengamati pelaksanaan program tersebut, yang sekarang merupakan upaya bersama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Australia, Amerika dan Badan PBB untuk Pangan, FAO. Cukup tentang peranan asing dalam membantu menggerakkan paya penanggulangan rabies di Bali, sekarang saya akan menceritakan apa yang sebetulnya dikerjakan di lapangan. Sesuatu yang membuat saya, dan saya harap Anda, terkesan dan sangat optimis.

Pengendalian rabies di Bali sangat unik dan menantang. Pada mulanya Bali adalah pulau yang bebas dari rabies sampai pada tahun 2008 rabies memasuki Bali, diduga dari Flores. Tanpa adanya kesiapan menghadapi rabies, anjing gila benar-benar menggila di Bali dan memuncak di tahun 2010 dengan total 82 kasus kematian pada manusia dari 130 kasus kematian yang tercatat sejak 2008 sampai saat ini. Lebih unik lagi, populasi anjing di pulau ini diperkirakan mencapai 350 ribu ekor, dengan lebih dari 60 persen di antaranya hidup bebas, tidak diikat atau dikurung di dalam rumah! Anda yang pernah berkunjung ke pulau dewata tentu sudah akrab dengan pemandangan anjing berkeliaran di tempat-tempat wisata di Bali.

Anjing memang memiliki peran sosial dan kultural yang unik di pulau dewata. Masyarakat Bali pada umumnya memnyukai anjing dan merasa nyaman dengan keberadaan anjig di sekitar mereka. Selain fungsi anjing sebagai penjaga keamanan dan teman, anjing juga mempunyai fungsi kultural-religius sebagai hewan persembahan pada beberapa upacara adat. Bahkan, menurut informasi yang saya peroleh, beberapa jenis anjing mempunyai nilai yang tinggi dalam upacara adat. Belum lagi anjing kintamani yang menjadi ikon khusus pulau Bali. Singkatnya, kondisi sosio-kultural pulau dewata memang sangat mendukung tingginya populasi anjing.

Jumlah yang banyak dan tingginya proporsi anjing yang dibiarkan berkeliaran membuat pengendalian rabies menjadi sulit. Cara paling efektif untuk mengendalikan rabies adalah dengan melakukan vaksinasi pada sumbernya, dalam hal ini adalah populasi anjing. Sebagai konsensus, paling sedikit 70 persen dari populasi anjing harus divaksinasi agar rabies bisa dikendalikan,bahkan dieliminasi, dari populasi tersebut. Untuk Bali, ini berarti sekitar 245 ribu ekor anjing harus divaksinasi! Memvaksinasi sekian banyak anjing tentu bukan hal yang mudah, apalagi jika lebih dari 60 persen dari jumlah tersebut adalah anjing yang berkeliaran bebas.

Diawali dengan inisiatif sebuah LSM di Bali, sebuah teknik yang sangat efektif digunakan untuk menangkap anjing yang berkeliaran bebas agar dapat divaksinasi: menggunakan jaring (jaring yang dipergunakan sangat mirip dengan jaring yang dipergunakan untuk menagkap ikan). Agar lebih efektif, dua sampai tiga orang penangkap anjing harus bekerja sama dengan baik. Setelah anjing tertangkap, barulah vaksinasi dapat dilakukan. Setiap anjing yang telah divaksinasi diberi tanda berupa collar atau pita berwarna merah terang dan dicatat. Tidak lupa sebuah kartu imunisasi diberikan kepada pemiliknya.

Upaya vaksinasi masal yang pertama dimulai di akhir tahun 2010. Tim vaksinator yang terdiri dari dokter hewan, pencatat, dog catcher dan supervisor (total sampai dengan 6 orang) berkunjung dari pintu ke pintu, banjar ke banjar sampaipaling tidak 70 persen dari populasi anjing dapat divaksinasi. Untuk memastikan bahwa jumlah anjing yang divaksinasi mencukupi, sebuah tim pemantau pasca vaksinasi diturunkan untuk menghitung jumlah anjing yang bertanda dan yang tidak bertanda keesokan harinya. Walaupun memakan tenaga dan waktu yang tidak sedikit, di akhir ronde pertama vaksinasi, masyarakat Bali berhasi lmemvaksinasi 270 ribu ekor anjing.

Hasil kerja keras masyarakat Bali kini telah berwujud. Tentunya peran penting pihak kesehatan masyarakat, yang menangani kasus-kasus pada manusia, juga perlu kita acungi jempol. Malahan, tanpa adanya kerja sama yang baik antara kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat (manusia) keberhasilan yang kita lihat di pulau dewata tidak mungkin terjadi. Untuk itu, saya acungkan jempol kepada masyarakat Bali dan semoga kepedulian dan kerja keras masyarakat Bali dapat ditiru seluruh masyarakat Indonesia yang sehat. Tapi perjuangan belum berakhir, selama rabies belum benar-benar tereliminasi dari pulau Dewata, dan dari bumi Indonesia.

***

[caption id="attachment_141827" align="alignnone" width="300" caption="Tim vaksinasi berjalan dari banjar ke banjar"] [/caption] [caption id="attachment_141829" align="alignnone" width="300" caption="Semua anjing yang tidak dikurung harus dijaring untuk divaksinasi"][/caption] [caption id="attachment_141830" align="alignnone" width="300" caption="Banyak juga anjing yang dibawa pemiliknya ke pos vaksinasi"][/caption] [caption id="attachment_141831" align="alignnone" width="300" caption="Anjing yang sudah divaksinasi dikenakan collar merah"][/caption] [caption id="attachment_141832" align="alignnone" width="300" caption="Inilah perlengkapan tim vaksinasi!"][/caption] [caption id="attachment_141833" align="alignnone" width="300" caption="Dan ini yang menjaga tim tetap sehat: nasi begana! :)"][/caption]

Perlu Anda ketahui: Rabies adalah penyakit yang disebabkan oleh virus golongan Lyssavirus. Virus ini pada umumnya ditularkan oleh hewan golongan Canid, atau golongan anjing (bisa juga oleh kelelawar), melalui kontaminasi luka oleh air liur yang mengandung virus. Setelah virus masuk ke dalam luka, secara perlahan ia akan mengikuti perjalanan saraf menuju ke otak. Sesampainya di otak, biasanya 2 minggu setelah gigitan, virus berkembang biak dan mulai menimbulkan gejala-gejala seperti takut air (misalnya, penderita akan memuntahkan air yang hendak melalui kerongkongannya termasuk air liurnya sendiri), halusinasi sampai akhirnya meninggal. Setelah gejala timbul biasanya tidak ada yang dapat dikerjakan untuk mencegah kematian. Satu-satunya cara mencegah kematian adalah melakukan vaksinasi pasca gigitan sebelum gejala timbul.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline