Selain Ibu Nunun yang terkena demensia, Syaukani, mantan Bupati Kukar, jatuh sakit dan dirawat berkepanjangan tidak lama setelah menjadi tersangka. Beberapa tersangka korupsi di Makassar bertumbangan. Bahkan payudara Malinda Dee pun mendadak meradang di dalam kurungan!
Kebetulan atau kesengajaan?
Saya tidak mau main tebak-tebakan, tapi hanya ada 2 kemungkinan jawaban:
1) Dengan penuh prasangka baik, memang demikian keadaannya. Mereka sakit. Boleh toh? Orang bebas saja bisa sakit, apalagi yang menjadi terpidana. Konon kabarnya stres dan depresi bisa menjadi pemicu sakit.
2) Pasti sebagian besar dari Anda juga berpikir: itu semua hanya upaya tipu-tipu! Bahwa sakitnya para terpidana itu adalah upaya untuk melarikan diri dari jerat hukum. Boleh toh? Namanya juga usaha.
Hanya saja, saya - mau tidak mau - adalah seorang dokter. Setiap saya membaca komentar pembaca tentang Dr Andreas, dokter pribadi Ibu Nunun, harga diri profesi saya terusik juga. Apa benar rekan sejawat saya memberikan diagnosis palsu demi membebaskan seseorang dari jerat hukum? Apalagi di luar itu ada selentingan kalau di penjara sudah lumrah kalau surat sakit dari dokter jadi surat sakti untuk 'berlibur' di rumah sakit. Saya harap tidak demikian. Bukan saja itu tidak etis, itu juga perbuatan melawan hukum.
Tapi Anda, saya dan kita semua tidak tahu pasti siapa yang berkata jujur. Kecuali, kecuali jika kita bisa benar-benar yakin bahwa profesional medis benar-benar independen dalam menentukan diagnosisnya. Dengan semangat membara memberantas kejahatan, terutama korupsi, dan menegakkan keadilan, saya jadi berpikir kalau dokter pun harus punya 'KPK'-nya sendiri, sekelompok dokter yang ditunjuk dan dapat dipastikan integritasnya dalam memeriksa, sekaligus menjaga, kesehatan para terpidana. Semoga Ikatan Dokter Indonesia sedang memikirkan yang saya pikirkan.
Primum non nocere, jangan keluarkan surat sakit bagi terpidana jika itu akan menyakiti lebih banyak orang. Profesi kedokteran tidak seharusnya menjadi emergency exit para pelaku kejahatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H