Karya: Dewi Sartika manajemen 2018
Waktu berlalu berputar seiring berjalannya waktu. Dan hanya ada tiga waktu; hari kemarin, hari ini dan hari esok. Hari kemarin yang telah berubah menjadi masa lalu, hari ini penentu dihari esok, dan hari esok yang tak kan pasti akan dipertemukan kembali.
Pernahkah terlintas, bahkan merasakan marah akan takdir yang tak sesuai dengan apa yang kita harapkan? Pernahkah merasa putus asa akan takdir yang telah ditentukan? Pernahkah merasa kecewa dengan apa yang didapatkan? Pernah!. Bahkan bisa jadi, banyak dari pembaca cerita ini yang merasa salah jurusan dalam menempuh pendidikan? :D tak urung bagi saya sendiri.
Saya pernah terjebak dalam kata " Mengapa hidup saya seperti ini?, kenapa saya tidak kuliah disana? Kenapa kuliah disini?, mengapa dulu saya tidak mengambil jurusan ini? Mengapa.. mengapa.. dan mengapa? Telah menghinggapi benak saya, menguasai hati saya. Sehingga saya lupa akan selalu ada jawaban dari setiap pertanyaan. Hingga satu hari itu datang, menjawab beberapa teka-teki yang telah lama tak didapatkan jawaban. Pernah percaya dengan kata " semua akan indah pada waktunya" atau kata " setiap yang tejadi, pasti ada hikmahnya"? Ya!, saya pernah. Setelah saya mencoba mengihklaskan, menerima dengan lapang dada, dan meyakinkan diri dengan apa yang akan Allah beri dari buah kesabaran. Percaya atau tidak, yang jelas saya hanya ingin sedikit berbagi kebahagiaan yang menjelaskan arti dari " Pelangi di ujung badai".
******
Nama saya Dewi. Saya anak ke empat dari lima bersaudara. Terlahir dari kedua orang tua luar biasa dengan kehidupan sederhana. Sungguh, saya lillah dengan keadaan ini. Tak pernah sedikitpun terpikir, 'Andai saya terlahir dari keluarga kaya raya. Mungkin semua yang ku inginkan akan mudah didapatkan.' Sekali lagi saya tegaskan! saya lillah dengan keadaan ini. Mengapa? Orang tua yang luar biasa yang menyayangi saya dengan penuh cinta, keluarga yang penuh perhatian, kehangatan, dan kasih sayang yang disetiap waktu mmengajari apa itu arti keluarga, cinta,berusaha dan yang paling penting apa itu arti hidup. Tapi, bukan ini cerita yang ingin saya sampaikan.
Semula, cerita ini berawal dari Sekolah Dasar. Saya disuruh menghapal Al-qur'an juz 1. Awalnya saya menolak dan merasa terpaksa. Maklum, pemikiran seorang anak kecil yang pastinya hanya memikirkan main dan bermain. Setiap pulang sekolah, saya habiskan untuk menghapal Al-quran, dengan target di MTQ kabupaten selanjutnya bisa hapal 1 juz Albaqarah. Di cabang hifzil 1 juz ini, tak hanya diharuskan hapal 1 juz Al-baqarah, namun juga diwajibkan bisa tilawah. Hal yang paling berat bagi saya, karena di samping saya nggak terlalu suka dengan hal yang berhubungan dengan suara (menyanyi, tilawah) atau apapun itu yang intinya memakai suara yang bagus, juga karena suara saya yang tak begitu mendukung. :D
Tak mendukung bukan berarti tak bagus, hanya saja suara saya memang tidak bisa dibentuk lagi. Ntah apa yang dimaksud tidak bisa dibentuk lagi, tapi kakak saya bilangnya seperti itu. Kalau tetap mau tau, dan butuh penjelasan. Silahkan tanya kakak saya! :D Becanda. Okee..lanjut!!!
Di saat jadwal saya harus setor hafalan, saya selalu merasa berat untuk pergi ke tempat pelatihan, bahkan tak jarang pula saya beralasan sakit, agar tidak ikut latihan. Dan lebih parahnya lagi, saya pernah berharap pelatihnya nggak bisa hadir karena alasan tertentu. Ntah itu karena lagi ada urusan, lagi sakit, atau apapun itu, yang penting saya berdo'a semoga pada saat itu saya tidak jadi latihan. Hahaha..jahat memang.
Tak cukup disitu, malam pun saya harus merelakan waktu untuk dilatih kakak saya mempersiapkan MTQ yang semakin dekat. Tak jarang pula selama latihan mata saya memerah, air mata berlinang, ingus berceceran (mon maap) bahkan sampai bercucuran keringat dan air mata. Dramatis memang, tapi memang begitulah kenyataannya. Perlu digarisi, kakak saya tidak sekejam itu. Orangnya baik, hanya saja saya tidak begitu suka diajarkan apa yang tidak disukai, apalagi dengan keterpaksaan. Maklum, waktu itu masih anak-anak. Dimana pemikirannya hanya tentang permainan, mainan, bermain, dan apa yang disukai.
Terkekang, terpaksa, itulah yang dirasakan. Sampai pada akhirnya saya menyadari, ketika pelaksanaan MTQ selesai. Semua yang dilalui tak sebanding dengan rasa haru dan bahagianya ketika saya mendengar keputusan dewan juri yang menyatakan saya mendapat juara dua. Dengan kebahagiaan yang membuncah, saya sampai lupa akan satu hal. Dimana disaat semua anak didiknya mendapatkan juara, akan didampingi oleh pelatihnya untuk sekedar mengantar kedepan. Bahkan sampai ada yang digendong kedepannya saking senang dan bangganya, lain cerita dengan saya . Dengan langkah ringan, saya malah menyelonong sendiri tanpa ditemani siapapun. Saking senangnya :D
Semua yang dilalui seolah-olah tidak pernah dirasakan dan bahkan lupa akan cucuran air mata dan keringat adalah ketika saya bisa membawa pulang piala dengan rasa bangganya menunjukkan hasilnya kepada orang tua saya. Sungguh, melihat senyuman lebar dari wajah mereka adalah apresisasi tersendiri bagi saya sendiri. Melebihi rasa ketika diberi apresasi trofi, sertifikat dan hadiah lainnya. Begitu berharganya senyuman itu bagi saya.