Lihat ke Halaman Asli

Unek-unek untuk Presiden Baru

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14143068421005151215

Petani, Air dan Negara.

Assalamu’alaikum pak Joko Widodo. Sebelumnya saya ucapkan selamat atas terpilihnya anda bersama Pak Jusuf Kalla sebagai pemimpin kami, minimal dalam lima tahun ke depan. Saya ada unek-unek nih pak, mana tahu anda berminat atau sudi untuk membacanya, syukur-syukur mau menanggapinya melalui kebijakan anda. Saya berani menyampaikan ini karena saya percaya, saya hidup di era reformasi. Era di mana masyarakat diharapkan partisipasinya dalam kehidupan bernegara…

Begini pak, meski hidup di kota, saya beruntung masih bisa mendapatkan kost yang dekat dengan sawah. Meski tidak begitu luas, tapi beberapa petak sawah tersebut sanggup memberikan kenyamanan yang cukup untuk ukuran kota besar seperti Jogjakarta. Selain jauh dari hiruk-pikuk kendaraan, suara katak dan jangkrik masih bisa saya jumpai di dalam kegelapan dan kesunyian malam, khususnya di musim penghujan.

Sawah-sawah tersebut cukup produktif. Jika saya tidak salah mengamati, dalam satu tahun masih bisa panen 3 kali, meski yang ketiganya hanya menghasilkan jagung atau singkong. Nyawa sawah tersebut sangat bergantung pada sungai –atau lebih cocoknya disebut selokan kecil yang mengalir sepanjang Gang Salak, Sorowajan Baru. Selokan tersebut mengalir dari utara ke selatan, layaknya sungai-sungai yang ada di Jogja.

Di musim hujan, aliran air di selokan tersebut lumayan deras, atau minimalnya mengalir lancar. Tapi di musim kemarau, selokan tersebut lebih mirip tempat sampah. Berbagai jenis sampah ada di dalamnya. Mulai dari bantal, plastik sisa konsumsi manusia, hingga bangkai ayam. Beruntung, masih ada sedikit air yang mau mengalir. Meskipun alirannya tidak lebih deras dari aliran kran PDAM yang mengaliri perumahan di musim kemarau.

Di musim-musim inilah, babak baru kehidupan petani kota berlangsung. Petani yang sawahnya lebih dulu di aliri sungai (sebelah utara), dialah yang beruntung jika dilihat dari perspektif “takdir”. Tapi petani yang letak sawahnya paling ujung (sebelah selatan) juga tidak begitu saja menerima “takdir” jika sawahnya tidak kebagian air. Alhasil, “aksi saling sikut” tak bisa terelakkan lagi.

Dalam beberapa kesempatan, saya kerap menjumpai aksi “saling sabotase” yang dilakukan para petani kota tersebut. Aksi tersebut biasanya dilakukan di malam hari. Dikisaran pukul 22.00 WIB hingga dini hari. Petani yang kebetulan memiliki sawah di utara mulai membendung selokan, agar air yang minim tersebut bisa mengalir di sawahnya. Adapun petani yang memiliki sawah di selatannya juga tidak mau pasrah, dia rusak bendungan tersebut agar air tetap bisa membasahi “dahaga” padi-padi miliknya yang kebetulan ditanam di sebelah selatan. Begitu seterusnya. Pada aliran selokan sepanjang 50 meter saja, saya melihat tidak kurang dari 6 bendungan.

[caption id="attachment_331206" align="alignnone" width="560" caption="Seberapa banyakpun uang kita, yang kita makan tetap hasil kerja petani. Kerena uang tidak enek dimakan."][/caption]

Begitulah kira-kira gambaran kehidupan petani di kota –atau mungkin petani di seluruh penjuru nusantara jika kemarau melanda. Suka tidak suka, “alam” memaksa mereka untuk bersaing dengan kawannya sesama petani. Aksi sabotase yang dilakukan malam hari adalah bukti bahwa mereka sebetulnya malu, dan enggan untuk berbuat buruk kepada sesamanya. Tapi apa daya, sawah adalah nyawa mereka, sumber penghidupan mereka beserta keluarganya. Sawah adalah harapan dari nasib dan masa depa anak-anak mereka.

Indonesia, atau wilayah Jogja dan sekitarnya (kecuali Gunung Kidul) sebetulnya memiliki potensi air yang melimpah ruah. Pegunungan Merapi-Merbabu tidak pernah berhenti mengucurkan sumber kehidupan di wilayah tersebut. Tapi mengapa, air berubah menjadi barang yang sulit di dapatkan…?? Ke mana air itu mengalir..??

Jika kita pergi ke arah timur laut, atau tepatnya di Kabupaten Klaten, kita akan menemui pabrik air mineral terbesar di Indonesia. Produk air mineral berkemasan milik perusahaan transnasional tersebut menyedot, atau mungkin lebih tepatnya “merampok” sumber penghidupan petani. Entah sudah berapa ribu, atau berapa juta meter kubik air yang dicuri, yang kemudian dijual kepada pemilik yang sesungguhnya, yakni masyarakat.

Pak, katanya Tanah, Air, Udara harus dikuasai negara dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat? Kok cuma segelintir orang yang mengeruk manisnya? Perusahaan transnasional milik asing lagi! Atau jangan-jangan inilah yang disebut aktivis-aktivis sebagai sistem Neoliberalisme? Di mana kekuasaan negara dirontokkan oleh kepentingan pemodal, kepentingan capital. Lalu seperti inikah, implementasi dari amanat pembukaan UUD 45 di mana negara berkewajiban melindungi rakyatnya…???

Saya pusing kalau sudah memikirkan hal-hal demikian. Mungkin itu saja, unek-unek berupa ragam pertanyaan yang selama ini menggelayuti pikiran saya yang kebetulan berkesempatan menyendang gelar mahasiswa di sebuah kampus negeri. Saya ucapkan terima kasih kepada para petani yang turut “mensubsidi” pendidikan saya.

Matur suwun… Ditunggu kerja nyatanya pak presiden…!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline