Lihat ke Halaman Asli

Pengalaman Sebagai Dokter PTT di Pedalaman Papua

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1386492601160150227

Namanya juga bertugas dipedalaman, ya pastinya kehidupannya pun akan berbeda dengan dikota….sangat-sangat berbeda!  Apalagi ini adalah pedalaman di Papua, yang notabene merupakan provinsi paling timur dan paling jauh dari ibukota dan memang masih sangat tertinggal. Yang pasti, kondisinya memang sangat memprihatinkan….jauh lebih tertinggal, bahkan dari kampung-kampung yang paling ndeso sekalipun yang ada di wilayah pulau jawa.

[caption id="attachment_297260" align="aligncenter" width="480" caption="Anak-anak di Kampung Yall"][/caption]

Aku mulai bertugas sebagai dokter PTT di kab Nduga Papua terhitung sejak 1 September 2010. Namun karena harus mengurus administrasi dan harus menunggu pesawat, aku baru naik ke tempat tugas bulan oktober 2010. Tempat tugasku merupakan sebuah distrik yang bernama Mugi, tetapi didunia komunikasi radio (SSB) dan penerbangan lebih dikenal dengan nama Darakma.

Pertamakali naik ke tempat tugas lumayan campur aduk juga perasaannya….rasa penasaran, excited dan rasa takut campur aduk jadi satu. Penasaran karena ingin tahu seperti apa sih tempat tugasku, excited karena memang udah lama aku pengen ke Papua dan akhirnya tiba juga saatnya pergi ke pedalamannya. Sedangkan takut karena inilah untuk pertamakalinya aku naik pesawat kecil...kapasitasnya dari mulai 4 orang (Cessna) sampai kapasitas 9 orang (Caravan). Selain itu rasa takut juga karena Nduga masih merupakan daerah rawan. Sempat mendengar juga cerita-cerita yang agak seram dari seniorku. Bahkan ada temenku yang ayahnya langsung jatuh sakit begitu mendengar anaknya bertugas di Kabupaten dimana Mapenduma termasuk salah satu wilayah didalamnya. Padahal dia asalnya dari Sorong dan merupakan orang asli Papua….orang asli aja takut, gimana aku coba???......(Apalagi karena tempat tugasku juga merupakan pemekaran dari wilayah Mapenduma)…..Emmm, Mapenduma memang sempat terkenal sih pada tahun 1996-1997 silam, bahkan sampai pada tingkat dunia internasional….

(kalo penasaran kenapa, coba tanya ke om google aja ya, masukin aja keyword “peristiwa mapenduma 1996”)

Singkat kata akhirnya akupun tiba dan mulai bertugas di Mugi. Aku berangkat dengan nebeng menggunakan pesawat carteran orang. Setibanya di Mugi aku tinggal di rumah paramedis. Kebetulan rumah dokter masih dalam tahap pembangunan, sedangkan rumah paramedis sudah dibangun sejak satu tahun yang lalu. Ada dua rumah yang dempet jadi satu, rumah ini masih kosong tidak berpenghuni karena memang belum ada tenaga paramedisnya. Jadi untuk sementara aku tinggal dirumah yang satu, sementara yang satunya lagi ditempati para tukang yang sedang mengerjakan pembangunan rumah dinas dokter. Ah lumayanlah ada temennya…..(tapi kelak setelah rumah dokter jadi dan para tukang udah pada pulang,,,,,aku lebih seringnya tinggal sendiri dirumah dinas…..lumayan agak serem juga sih coz tetangga pada jauh….tetangga terdekat jaraknya sekitar 250 meter dari rumah, itupun Cuma 1 honai saja…)

Ahh, baru kali ini aku berada dan tinggal di pedalaman yang benar-benar dipelosok, dan akupun merasakan susahnya hidup dipedalaman….tidak ada listrik…tidak ada sinyal hape…tidak ada wartel…bahkan warung aja ngga ada….air untuk kebutuhan sehari-haripun kita mengandalkan dari air hujan…. Tidak ada akses jalan dari Wamena ke Mugi, makanya di Mugi ngga ada yang namanya motor, sepeda, apalagi mobil! Wong kuda, sapi atau kambing aja ngga ada koq….hewan-hewan peliharaan yang ada di Mugi dikit banget jenisnya…cuma ayam, wam (babi), dan anjing. Kucing aja sedistrik Mugi Cuma ada 2 ekor, dan itupun karena ada yang bawa dari Wamena.

Salah satu kesulitan terbesar adalah transportasi. Wilayah di Nduga memang sangat sulit karena terdiri dari banyak gunung-gunung yang tinggi. Dan masyarakatnya pun hidup tersebar digunung-gunung. Mungkin inilah yang menyebabkan hingga saat ini tidak ada akses jalan dari Nduga ke Wamena ataupun ke kabupaten-kabupaten disekitarnya. Praktis tidak ada angkutan lain selain menggunakan pesawat kecil (pesawat perintis). Kalo tidak ada penerbangan atau tidak punya uang…masyarakat terpaksa harus berjalan kaki…menyusuri gunung-gunung yang tinggi dan hutan-hutan….perjalanan dari mugi ke danau habema memakan waktu 2-3 hari….sesampainya di danau habema, kalau ada strada mereka bisa naik strada selama kurang lebih 3-4 jam menuju wamena, kalo ngga ada strada ya terpaksa merekapun melanjutkan perjalanan sampai ke wamena dengan berjalan kaki…. Makanya ngga heran kalo mereka pada kuat-kuat fisiknya….disamping itu mungkin ini juga yang bikin mereka tumbuh menjadi orang-orang yang keras, ya karena memang alamnya yang ganas…

(Pernah suatu ketika sepulang pelayanan dari kampung yall, aku bertemu dengan seorang kakek yang sudah sangat tua….umurnya mungkin sekitar 72 – 75 tahun. Dan dia seorang diri berjalan kaki dari Tiom (Ibukota Kab Lanny Jaya, Tetangga Nduga) menuju kampung Samba, katanya mau mengunjungi keluarganya….. Perjalanannya sendiri memakan waktu 3 hari…..dan jangan tanya medannya, gunung2 dengan tanjakan yang terjal ataupun dengan turunan yang curam….wuihhhh, pokoknya aku salut banget ama kakek ini….)

Salah satu keprihatinan yang lain adalah melihat anak-anak sekolah disini….guru yang sangat kurang, fasilitas gedung yang minim, minimnya meja ataupun kursi didalam kelas sehingga sebagian besar dari mereka harus belajar dengan cara lesehan di lantai….dan yang paling parah adalah…..banyak diantara anak-anak ini yang datang kesekolah dengan bertelanjang…yup, telanjang!!! Bukan hanya telanjang kaki atau telanjang dada….tapi benar2 telanjang!!! Sungguh memprihatinkan sekali melihatnya……

[caption id="attachment_297261" align="aligncenter" width="393" caption="Anak sekolah di Mugi"]

13864927181706979156

[/caption]

Dan diantara anak-anak sekolah ini banyak diantara mereka yang datang dari kampung-kampung yang jauh, diantaranya kampung yall. Jadi untuk bersekolah mereka harus berjalan kaki menaiki bukit….menuruni lembah….menyebrangi sungai….dan kemudian menaiki bukit lagi untuk dapat tiba disekolah, dan ini mereka lakukan setiap hari!! Mereka adalah para “denias” sejati……salut buat mereka….

Diawal-awal kedatanganku, hanya ada sedikit sekali pendatang di Mugi. Diantaranya ada aku dan keluarga Mama Ezra (ada suami dan dua anaknya yg masih kecil). Mama Ezra berasal dari Dobo, di Kepulauan Aru, sedangkan suaminya bernama Jeffry dan berasal dari Sumatera Utara. Mereka berdua bertugas sebagai guru, mama ezra sebagai guru TK, sedangkan suaminya guru di SD. Ya keluarga inilah yang menjadi teman dekatku di pedalaman sini. Selain kami memang sama-sama bertugas di Mugi, kebetulan di Wamenapun kami tinggal di komplek barak yang sama…

Seperti yang aku tulis diatas, di Mugi memang tidak ada warung….(apalagi mall!) :cepe dehh… Tapi kebetulan ibu guru ini selain menjadi guru juga kadang berjualan di rumahnya. Tapi itupun hanya sedikit barang maupun jenis dagangannya….hanya mie instant, minyak goreng, garam, gula, vetsin, benang noken (untuk bikin tas tradisional), korek…..dan beberapa barng kebutuhan sehari-hari lainnya. Keluarga ini berjualannya tidak regular, mereka hanya membawa barang-barang jualan sedikit saja…..terkadang barang jualan yang dibawapun hanya mie instant saja….dan praktis mereka inilah satu=satunya penjual yang ada di mugi. Terbayang kan betapa susahnya masyarakat disini untuk belanja mencari barang-barang kebutuhan, yang biasanya dikota kita dengan mudah bisa mendapatkannya di warung-warung yang ada disekitar rumah kita…

Di Mugi tu suhunya lumayan dinginnn….ya maklumlah, namanya juga digunung (menurut pilot sih ketinggiannya lebih dari 6000 ft atau sekitar 2000 m). Apalagi pas awal-awal dateng aku salah bawa sleeping bag (kantung buat tidur biar hangat). Emang sih sebelum datang ke Papua, temenku udah bilang supaya bawa barang-barang yang dibutuhkan buat ke pos, salah satunya sleeping bag. Tapi dasar emang aku ngga pernah camping atau naik-naik ke gunung….jadi aja aku beli sleeping bagnya yang murah punya….hanya seharga 65 rb yang aku beli didaerah kosambi, Bandung (karena waktu itu ditokonya memang cuma adanya yang itu). Sleeping bagnya tipis banget dan resletingnyapun kemudian rusak…..otomatis tembuslah udara dingin menusuk sampe tulang. Apalagi kalo udah jam 2 malem keatas…..beuhhh….sering banget aku kebangun dan abis itu susah tidur lagi gara-gara gak tahan ma dinginnya…. Sehingga waktu itu aku mengalami yang namanya broken insomnia dengan gejalanya berupa multiple awakening…(siklus proses tidur normal yang tidak utuh dan terpecah-pecah menjadi beberapa bagian….tidur…bangun…tidur…bangun…, ngga nyenyak tidurnya). Kalo tidur aku sampai harus pake baju dua lapis ditambah lagi pakai jaket, sarung tangan, kaus kaki yang tebal dua lapis dan abis itu pake sleeping bag…….tapi tetep aja kadang aku masih kedinginannn…. Untungnya keadaan jadi lebih baik setelah aku ganti sleeping bag ku pakai yang lebih tebal….lumayan gak kedinginan plus tidur jadi lebih nyenyakkk… (plus mungkin karena badanku dah mulai beradaptasi dngan udara dingin juga kali ya…).

Nah, mungkin udara dinginlah yang mendasari pembuatan rumah-rumah honai oleh nenek-moyang orang-orang sini dijaman dulu. Karena memang kondisi dihonai itu lebih hangat sihh…apalagi kalo malam mereka juga bikin perapian atau ada sisa-sisa bara api di dalam honai yang membuat kondisinya jadi lebih hangat…. Tapi kadang hal ini bisa berakibat kecelakaan juga coz ada orang yang tidur dan kadang tanpa sengaja tangannya atau kakinya masuk ke perapian…akibatnya jadi luka bakar deh…..

Kalo rumah dinasku sendiri sebetulnya lumayan enak sih….dia berupa rumah panggung berukuran kurang lebih 70 meter persegi yang terdiri dari 3 kamar tidur, 1 kamar mandi, ruang tamu, ruang tengah dan sebuah dapur. Air buat kebutuhan sehari-hari (masak, minum, cuci dan mandi) diambil dari air hujan yang ditampung ke dalam drum. Lumayan nyaman lah…. Tapi yang agak serem tu ya karena tetangganya pada jauuhh…tetangga terdekat  jaraknya ratusan meter, dan itupun hanya honai satu-satu. Tetangga lain ada lagi satu diatas dan jaraknya sekitar segitu juga.... Sedangkan rumah penduduk yang lain tersebar jauh-jauh… mana dibelakang rumah ada hutan (mini) lagi, di samping kiri juga hutan….dan seringkali aku tinggal hanya sendiri dirumah….kebayang kan sepinya….jam 6 sore aja suasananya udah sepi bangett. Yang terdengar hanya suara-suara serangga dari hutan dibelakang rumah… mana ngga ada listrik lagi….pokoknya suasananya lumayan horror lah….apalagi kalo sambil ngebayangin yang serem-serem…hiiii!!

Tapi ya disamping beberapa kekurangan diatas….aku sih enjoy aja PTT disini. Karena ke Papua itu emang udah keinginanku sejak lama, kalo ngga salah sejak aku kuliah semester 4 atau 5 gitu… jadi karena aku memang ingin ada disini (Papua), alhamdulillah ngejalanin semuanya (ditengah kesulitan yang ada) jadi berasa lebih ringan aja…. Dan kalo aku dah mulai jenuh, suntuk atau bete di pos sendirian….aku selalu ingat dengan satu motto yang aku dapat dari bukunya Ajahn Brahm yaitu “….inipun akan berlalu….”Kebetulan aku menuliskan motto ini di dinding kamarku di Mugi, dan alhamdulillah, it works..!!

Yah itulah tadi sedikit cerita tentang sekelumit kehidupanku dalam menjalankan tugas sebagai dokter PTT di pedalaman Papua. Doain ya semoga aku diberi kelancaran dan keselamatan oleh Tuhan dalam menjalankan tugasku disini. Semoga aku bisa menyelesaikan PTTku ini dengan baik hingga tiba akhirnya nanti aku kembali ke rumah dan berkumpul kembali bersama keluarga tercinta…..amin.

NB: ini adalah cerita mengenai keadaan dimasa awal-awal kedatanganku di Mugi. Kalo sekarang sih, terutama setelah Nduga memiliki Bupati definitif….alhamdulillah keadaannya lumayan lebih baik. Diantaranya dibangunnya bangunan sekolah baru, kedatangan guru-guru baru dan anak-anak sekolah sudah diberi seragam, sehingga mereka kini sudah bisa datang bersekolah dengan memakai seragam, sama seperti anak-anak Indonesia lainnya…

[caption id="attachment_252333" align="alignleft" width="300" caption="kini mereka memiliki ruang kelas, meja, kursi dan seragam baru.... :)"]

136779716686332174

[/caption] [caption id="attachment_252334" align="alignleft" width="300" caption="semua bisa duduk di kursi, tidak lagi lesehan... :)"]

13677972111527744560

[/caption]

ISTILAH :

SSB: merupakan radio komunikasi antar wilayah. Biasanya digunakan untuk berkirim pesan atau berita, menanyakan kabar ataupun untuk keperluan penerbangan. Kalo misalnya ada pesawat mau terbang ke suatu wilayah, maka dari wamena atau pilotnya akan menanyakan keadaan cuaca atau lapangan ditempat tersebut melalui radio SSB. Kalo di kota, yang aku tau ada organisasi untuk pengguna radio ini, seperti ORARI dan RAPI, cmiiw…

Danau Habema: sebuah danau yang ada diwilayah habema, Kab Jayawijaya. Wilayah ini merupakan perbatasan antara Kab Jayawijaya dengan Kab Nduga. Berjarak kurang lebih 3-4 jam perjalanan dari Kota Wamena dengan menggunakan mobil 4 WD seperti Mitsubishi Strada atau Ford Ranger. Danau ini pernah dijadikan lokasi syuting film “Denias” lhoo…

Barak: Sebutan untuk rumah petak alias rumah kontrakan.

Noken: Tas tradisional masyarakat papua. Kalo dulu sih biasanya dirajut dari kulit kayu, tapi sekarang biasanya dibuat dengan menggunakan benang sintetis.

Honai: Rumah tradisional masyarakat Papua di wilayah pegunungan. Bentuk dasarnya lingkaran seperti dome (kubah), dengan dinding dari kayu dan atap dari ilalang. Biasanya honai ini didalamnya bertingkat lho….didalamnya sendiri beralaskan tanah yang dilapisi ilalang kering untuk duduk-duduk atau tidur. Didalam honai, ditengah-tengahnya terdapat perapian yang dibuat untuk memasak atau menghangatkan diri. Sebetulnya dari segi kesehatan, kurang baik sih….karena honai itu hanya memiliki satu pintu dan tidak memiliki jendela, sehingga asap dari perapian akan menumpuk didalam….bikin mata perih, pengap dan bisa menimbulkan gangguan pernafasan juga…. Itulah mengapa orang-orang ditempatku banyak yang ingusan dan menderita penyakit pernafasan (ISPA atau Pneumonia)… Oya, ada satu lagi kebiasaan yang tidak sehat….karena terkadang didalam honai juga terdapat kandang untuk tidur babi. Jadi babi dan pemiliknya tidur didalam honai yang sama…..

Ajahn Brahm:Seorang penulis buku yang juga merupakan seorang Bhiksu asal Inggris (belajar jadi Bhiksu di Thailand dan kini tinggal di Australia). Bukunya yang aku baca adalah “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya”, berisi khidmat-khidmat kehidupan yang dikemas dengan gaya bahasa yang cukup menarik. Bukunya sendiri terdiri dari 3 seri, dan menurutku buku ini sangat bagus…..Highly Recommended.

A. Fuad

http://fuadthebolanger.blogspot.com/2012/07/susahnya-hidup-di-pedalaman.html




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline