Lihat ke Halaman Asli

Tentang Kita yang Lebih Mengenal yang Lain

Diperbarui: 14 Februari 2017   18:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siang kemarin saya berbincang dengan dua rekan satu jurusan –Shania dan Ahmad Irfan— yang merupakan warga Kota Yogyakarta. Kami berceloteh seputar pemilihan Wali Kota Jogja yang akan digelar hari Rabu (15/2) mendatang.

Perbincangan itu mengingatkan saya pada postingan seseorang, yang saya temukan di linimasa Line beberapa hari sebelumnya. Kurang lebih postingan tersebut berisi pertanyaan mengenai ‘apakah masyarakat luar DKI yang khatam membaca berita dan menonton debat pilkada DKI sudah tau pasangan calon (paslon) mana yang akan dipilih pada pilkadanya sendiri?’

Buat saya, pertanyaan itu lebih seperti sindiran. Jangan-jangan banyak orang yang fasih saat ditanya seputar pilkada DKI, tetapi gagap saat ditanya tentang pilkadanya sendiri.

Rupanya, hal ini terjadi pada teman saya sendiri, Shania. Ia mengaku masih bingung menentukan pilihan karena belum terlalu tahu profil masing-masing paslon dan program-program yang diusungnya. “Aku justru lebih familiar dengan paslonnya DKI daripada paslon daerahku sendiri,” ucapnya sambil tertawa.

Senada dengan Shania, Irfan pun mengakui hal yang sama. “Ga terlalu tahu program spesifik mereka. Aku tahunya cuma secara umum mereka mau membawa Jogja ke arah mana,” jelasnya. Irfan juga menambahkan, “Jangankan program, ada temanku yang bahkan ga tau nama paslonnya siapa aja”.

Sebuah ironi memang. Sebagai warga kurang paham dinamika politik di daerah sendiri, tapi justru lebih paham tentang daerah lain. Menurut Irfan, ketidakpahamannya tentang seluk-beluk masing-masing paslon daerahnya dikarenakan kurangnya sosialisasi dari para paslon. Irfan mengaku di kampungnya tidak ada sosialisasi program dari masing-masing paslon. “Setidaknya, kalaupun ga sosialisasi langsung, paling enggak diberi edaran yang berisi visi-misi. Tapi hal kayak gitu jugaga ada di kampungku,” jelasnya. Shania juga memberi pengakuan yang sama.

Selain karena kurangnya sosialisasi dari para paslon sendiri. Irfan beranggapan bahwa ini juga merupakan efek samping dari digelarnya pilkada serentak. “Karena serentak, media cenderung berfokus pada pemberitaan pilkada tertentu, yang mereka anggap lebih menarik,” jelasnya. Ia mencontohkan pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI yang banyak diberitakan oleh media, sehingga menjadi viral dan seperti menenggelamkan berita-berita pilkada lain.

Pun meski kedua teman saya belum terlalu mengenal paslon wali – wakil wali kota Jogja. Mereka tetap akan menggunakan hak pilih pada Rabu mendatang. “Aku sudah cukup apatis karena ga mengikuti dinamika pilkada kotaku. Ya, kalau ga milih, aku akan menjadi benar-benar apatis,” ujar Shania. Sependapat dengan Shania, Irfan menambahkan bahwa dengan menggunakan hak pilih, masyarakat bisa menentukan paslon mana yang menurutnya lebih baik untuk memimpin Kota Jogja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline