Lihat ke Halaman Asli

Kedewasaan yang Dipaksakan; Sebuah Potret dari Selatan Wilayah Jakarta

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dewasa, menjadi sebuah pergulatan dalam jiwa dan logika. Bagaimana tidak, jika arti kedewasaan sesungguhnya mengalami keabsurdan makna. Karena “menjadi dewasa” tidak ditentukan oleh faktor usia saja. Kedewasaan tidak ditentukan dengan besarnya usia. Terbukti dengan maraknya sikap dewasa yang justru ditunjukkan oleh para pemuda yang usianya masih sangat belia.

Sebuah kedewasaan yang berangkat dari gelapnya sisi gemerlap kota

Ketika sinar fajar mulai memancar indah, gelapnya sisa malam masih tersisa dan dinginnya embun pagi masih terasa. Perlahan, para pemuda yang masih belia itu berangkat menapaki jalan nasibnya. Mereka tanpa ragu melangkah dengan “tas dan perlengkapan” dinasnya mendobrak kantuk yang masih mendera. Demi mengais rejeki yang akan dikepulnya dan kemudian dijual dengan satuan berat dalam harga.

Mereka menerima profesi itu ternyata dengan rela. Walau dalam pandangan banyak mata, profesi mereka menggugah rasa iba dengan balutan kain kumuh yang menutupi tubuh mereka. Dan banyak pula mata lainnya justru memandang miring profesi mereka lantaran “aktifitas dinas” mereka yang kerap meresahkan warga.

Sikap dewasa demi orang tua

Pandangan miring yang kerap melekat pada profesi yang dijalani, tak menggentarkan niat mereka untuk tetap “mengarungi rezeki” demi membantu orang tua. Mereka sadar dengan apa yang dijalani sebagai bentuk berbakti kepada keduanya. Sehingga dengan kerelaan dan tanpa paksaan mereka jalankan dengan menunjukkan sikap dewasa.

Idealnya, sikap dewasa yang mereka tunjukan itu tidaklah tepat waktunya. Mengingat usia mereka yang masih sangat belia. Namun apa mau di kata, toh mereka dengan sadar melakoninya. Mungkin itu pula yang melatari kerelaan kedua orang tua mereka untuk melepas anaknya menggeluti kejamnya dunia di antara belantara gedung-gedung tinggi kota Jakarta.

Salah siapa?

Seperti itulah salah satu contoh potret gelapnya sisi gemerlap kota. Bahwa kekumuhan merupakan realitas nyata dan tak mungkin pula dapat dipungkiri keberadaannya. Lantas harus mengadu kepada siapa? Apakah ada yang harus disalahkan dengan keniscayaan yang ada?

Yang pasti adalah kekumuhan itu sebuah realitas ataupun keniscayaan yang idealnya disikapi arif dan bijaksana dengan cara seksama. Bagaimana orang di luar wilayah kumuh dapat membantu mengangkat derajat mereka ke arah yang tak lagi dianggap tercela. Dengan kepedulian bersama yang dapat mereka terima, dengan catatan tidaklah memberi kesan manja. Karena dengan demikian maka akan membangkitkan kembali gelora semangat mereka untuk tetap memiliki asa yang seakan telah sirna ditelan “derita realita” yang menerpa.

(sampahfly050/05/06/2012)

Lihat juga:

http://sampahfly.wordpress.com/2012/05/23/kedewasaan-yang-dipaksakan-jilid-2-2/

http://sampahfly.blogspot.com/2010/03/kedewasaan-yang-dipaksakan.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline