Latar Belakang Peristiwa KAA
Konferensi Asia Afrika atau yang disingkat KAA adalah pertemuan tingkat tinggi antara negara-negara benua Asia dan Afrika pada tanggal 18-24 April 1955 di Bandung. Kenapa KAA diadakan? Diadakanya KAA tidak bisa terlepas dari peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya, yaitu Perang Dunia II dan Perang Dingin. “Setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet bersekutu hingga berhasil menghancurkan Jerman Nazi di Perang Dunia II, yang kemudian menyisakan Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai dua negara adidaya di dunia dengan perbedaan ideologi, ekonomi dan militer yang besar,” (Cahyo, 2018, hal. 7).
Kondisi keamanan dunia setelah berakhirnya Perang Dunia II pun belum stabil, secara politik global kondisi dunia kemudian terpecah menjadi dua kelompok—disebabkan perebutan pengaruh antara kelompok kapitalisme yang dikomandoi Amerika Serikat dengan komunisme yang dikomandoi oleh Uni Soviet.
Dari sini, maka kemudian muncul istilah perang dingin. “Perang dingin adalah perang dalam wujud ketegangan sebagai perwujudan dari konflik kepentingan, perebutan supremasi dan perbedaan ideologi antara Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Perang dingin diantaranya disebabkan oleh adanya perbedaan paham dan keinginan untuk berkuasa,” (Cahyo, 2018, hal. 3). Kedua negara besar itu berbeda pendapat tentang bagaimana cara yang tepat untuk membangun Eropa pasca perang.
Pada akhirnya mereka meluaskan perebutan pengaruh tidak hanya di Eropa dan Amerika, tetapi sampai meluas hingga ke Asia dan Afrika. “Sebagai negara yang baru saja mendapatkan kemerdekaan pada 1945 dan memperoleh kedaulatan empat tahun setelahnya, yakni pada 1949, Indonesia tidak ingin terlibat ke dalam dua pusaran kekuatan tersebut,” (Sofyan, 2019, hal. 24). Indonesia tidak ingin mengekor dua negara adidaya tersebut.
Maka ada istilah 3B yang disebut oleh Dr. H. Roeslan Abdulgoni selaku ketua joint secretariat KAA dalam bukunya (The Bandung Connection, 2015, hal. 18-25). 3B itu adalah Bierville (1926), Bogor (1954) dan Bandung (1955), yaitu jembatan penghubung dari cita-cita sampai mewujudkan KAA.
Pertama-tama Kota Bierville dekat Paris di Perancis, dalam pertemuan Congres Demokratique International VI di tahun 1926, mahasiswa-mahasiswa Indonesia ikut memainkan peran dalam membangkitkan jiwa solidaritas Asia-Afrika, muncul manifesto bersama berbunyi “Liberate the spirit of Asia and you will have peace, not a peace imposed by the sword, but a peace based on good will. The spirit of Asia is essentialy pacific.”[1] Di sub-bab berikutnya, Bogor dan Bandung akan kita bahas.
Namun sebelum adanya pertemuan di Bogor, terlebih dahulu ada Konferensi Colombo di Srilanka tanggal 28 April - 2 Mei 1954 yang diprakarsai Perdana Menteri Srilanka, Sir John Kotelawa atas keprihatinan mengenai situasi peperangan di Indocina waktu itu, meningkatnya agresi komunis di bumi Asia dan perkembangan persenjataan nuklir.
PM Ali Sastroamidjojo mewakili Indonesia memenuhi undangan Konferensi Colombo, hadir di ‘Sidang Panca Perdana Menteri’ tersebut. Dalam kesempatan itu, Ali Sastroamidjojo berkesempatan mengajukan usulnya agar diadakan “A conference, similar in nature to the present Conference, but wider in scope, to include not only countries of Asia but some countries of Africa as well.”[2]
Setelah mendapat tanggapan empat perdana menteri lain, PM Ali Sastroamidjojo tidak mundur sekaligus tidak melepaskan usulnya, beliau menegaskan “I would be satisfied if the Colombo Conference agreed that a Conference on the lines proposed should be sponsored by Indonesia.”[3] Semua menganguk setuju, Indonesia pun diberi dukungan moral untuk mewujudkan Konferensi Asia Afrika yang dicita-citakan.