Gunung Semeru menjadi paku bumi pulau Jawa, agaknya beberapa dari kita pernah mendengar hal ini entah dari lingkar perkopian, bangku sekolahan hingga kursi pemerintahan. Namun ada pula yang mengatakan, konon yang menjadi paku bumi Pulau Jawa adalah Gunung Tidar dengan keberadaan tokoh Syaikh Subakir dibaliknya. Umum kita tahu bahwa gunung merupakan bagian bumi yang paling tinggi, ternyata di masa silam merupakan tempat nun paling dihormati dan disucikan. Lalu bagaimana yang dimaksud sebagai paku bumi? Adakah alasan yang membuat Pulau Jawa perlu untuk dipaku? Agaknya antara Gunung Semeru dan Gunung Tidar ini memiliki ceritanya masing-masing, lewat sudut pandang historis dan etnologis, kita dapat menemukan sesuatu yang disebut sebagai local genius, bukan tahu dan tempe penyet, tapi sesuatu yang boleh dianggap matang juga.
Gunung Semeru dengan ketinggian 3.676 MDPL di masa sekarang menjadi gunung yang paling tinggi di Pulau Jawa, namun alasan Gunung Semeru menjadi paku bumi bukan karena ketinggianya. Kisah gunung ini menjadi paku bumi terdapat dalam naskah Tantu Panggelaran yang berasal dari tahun 1557 Saka (1635), berbahasa Jawa Kuna dan pernah disunting oleh Th. G. Th. Pigeaud pada 1924. Dikisahkan bahwa pada mulanya Pulau Jawa yang tidak berpenghuni mempunyai kondisi tidak stabil lantaran hempasan ombak laut selatan. Sebagaimana papan kayu yang mengapung di kolam, Pulau Jawa perlu ‘paku’ untuk menstabilkan kondisinya agar tidak terhempas dan terguncang. Oleh sebab itu, para Dewa kemudian ‘memotong’ Kailasa, yaitu puncak Mahameru (Gunung Himalaya) yang ada di Jambudwipa (sebutan untuk India) ke Jawadwipa (sebutan untuk Pulau Jawa) sebagai paku bumi, pasak atau boleh disebut juga pemberat.
Pada mulanya potongan tersebut ditempatkan di pulau Jawa bagian barat, namun hal ini menyebabkan kondisi yang tidak berimbang, pulau pun terjungkit dan bagian timurnya terangkat ke atas. Alhasil, para dewa menggesernya ke bagian timur pulau Jawa. Sepanjang perjalanan inilah, gunung ini gompal dan tercecer berjatuhan. Gompalan-gompalan tersebut menjadi gunung pula, di antaranya adalah; Gunung Katong (Lawu), Gunung Wilis, Gunung Kampud (Kelud), Gunung Kawi, Gunung Arjuna, Gunung Kumukus (Welirang) hingga kemudian berakhir dengan bagian utamanya adalah Gunung Semeru. Pasca pemindahan inilah, kondisi Pulau Jawa menjadi stabil dan tidak berguncang lagi. Dari sinilah, Gunung Semeru disebut sebagai paku bumi Pulau Jawa. Selanjutnya lain kisah dengan Gunung Tidar yang juga disebut-sebut sebagai paku bumi Pulau Jawa.
Oleh karena banyaknya versi, di sini terlebih dulu mencoba memakai versi yang dikutip oleh Siti Rumilah dan kawan-kawan dalam jurnalnya (Islamisasi Tanah Jawa Abad ke-13 M dalam Kitab Musarar Karya Syaikh Subakir, 2019, pp. 38-43) di SULUK: Jurnal Bahasa, Sastra dan Budaya. Versi tersebut mengambil dari Kitab Musarar karya Syekh Subakir hasil terjemah Mat Sukri. Dikisahkan dahulu kala keadaan di Pulau Jawa kosong, masih berupa hutan yang selalu gelap gulita, sepi dan banyak serak-serakan daun asam. Kondisinya angker dan sengkarut, penghuninya adalah lelembut yakni hantu, peri dan jin seperti dewaraksasa, banaspati, ilu-ilu serta jerambangan. Raja Dinasti Utsmani dari Rum, Sultan Muhammad I saat itu telah banyak mengutus utusan untuk menyebarkan Islam, namun selalu gagal gara-gara keangkeran tanah Jawa, para utusan banyak yang meninggal dibunuh oleh Jin dan Setan.
Akhirnya, Raja Rum mengutus seorang yang dikenal bukan hanya sebagai alim-ulama, tetapi juga seorang ahli ruqyah dan memiliki kemampuan ghaib, dikenal dengan nama Syekh Subakir. Selain untuk menyebarkan Islam, Syekh Subakir dipinta berlayar ke Jawa untuk memasang tumbal di gunung-gunung agar lelembut pergi dari Pulau Jawa. Setelah mendapat pinta, Syekh Subakir berlayar ke Jawa. Sesampainya di Jawa, Ia bertemu Ki Semar yang kemudian menanyakan kabar dan niat apa datang ke Jawa. Sayang, cerita selanjutnya hanya menyebut bahwa para hantu menjadi geger, tidak diterangkan detail bagaimana pertemuan tersebut bisa membuat para hantu menjadi geger. Cerita pun selesai sampai di sini. Untuk itu selanjutnya, sambungan cerita menggunakan versi lain, yakni tradisi lisan yang dikaji Fikha Nada Naililhaq dalam jurnalnya (Kearifan Lokal Bertajuk Religi dalam Mite Gunung Tidar: Kajian Antropologi Sastra, 2020, pp. 61-70).
Tradisi lisan yang didapat Fikha dari hasil wawancaranya dengan Juru Kunci Gunung Tidar, Sumarlan pada 21 September 2019 langsung merujuk pada cerita pertemuan Syekh Subakir dan Eyang Ismoyo (Ki Semar) sebagai berikut, bahwa pertemuan keduanya memuat suatu dialog dan perjanjian-perjanjian. Salah satu perjanjianya dengan cara mengajak Syekh Subakir ke padepokan agung Eyang Ismoyo, yaitu Alas Purwo. Eyang Ismoyo berkata bilamana Syekh Subakir bisa nyabdo atau merubah air sumur menjadi wangi, Eyang Ismoyo beserta para lelembut tidak akan tinggal di Pulau Jawa tetapi akan tinggal di pesisir selatan. Selanjutnya, air di sumur disabdo oleh Syeikh Subakir, satu sumur bisa menjadi wangi dan satunya lagi tidak. Setelahnya, Syekh Subakir kembali ke tanah pusaran lagi.
Dengan perantara tombak daya pusaka, Kyai Sepanjang serta ridho Tuhan, maka Syekh Subakir melakukan sababiyah atau ruqyah di Gunung Tidar dengan cara menanam Kyai Sepanjang dan menyertainya dengan doa-doa. Alhasil, Gunung Tidar kemudian menjadi tentram, para lelembut takluk dan barulah manusia dapat hidup di tanah Jawa. Kyai Sepanjang inilah yang kemudian disebut sebagai paku buminya Pulau Jawa. Cerita pun selesai sampai di sini. Selanjutnya perlu diketahui juga, bilamana tradisi lisan Juru Kunci Gunung Tidar, Sumarlan sebelumnya hanya menyebut salah satu perjanjian, maka di masyarakat sekarang secara umum ada versi yang populer berupa empat syarat perjanjian. Empat syarat tersebut yakni; Pertama, penyebaran Islam tidak boleh dilakukan dengan pemaksaan dan peperangan, harus dilakukan dengan cara halus, memberikan keleluasaan bagi penduduk Jawa untuk memilih masuk ke agama Islam atau tetap meyakini kepercayaan sebelumnya.
Kedua, mengakulturasikan antara Islam dengan budaya Jawa dalam pendirian tempat peribadatan. Ketiga, kerajaan Islam boleh berdiri di Pulau Jawa, namun raja pertama haruslah anak campuran. Misal bila ayahnya Hindu, ibunya Islam—begitu juga sebaliknya. Keempat, membiarkan padi tetap ditanam di sawah dan kurma tetap ditanam di padang pasir. Maksudnya adalah tidak boleh membuat penduduk Jawa menjadi kearab-araban. Akhir cerita, kesepakatan berhasil—dengan ‘catatan’ 500 tahun yang akan datang, Ki Semar berjanji akan muncul lagi dan membuat geger geden bilamana orang Jawa hilang Jawanya. Jadi, terang sekarang berdasarkan kedua kisah tersebut paku bumi Pulau Jawa punya 2 edisi, edisi yang pertama adalah Gunung Semeru dan edisi yang kedua bukanlah Gunung Tidar itu sendiri, melainkan Kyai Sepanjang yang ditanam di Gunung Tidar.
Lalu, mana paku bumi Pulau Jawa yang sebenarnya? Gunung Semeru atau Kyai Sepanjang? Secara historis, kedua cerita tersebut tampak sastrawi, yang menjadi topik utama bukanlah peristiwa yang benar-benar terjadi, melainkan pesan dan makna. Pemindahan gunung dan asal-usul kemunculan gunung-gunung lainya dalam rangkaian cerita Gunung Semeru akan sukar kita pahami secara logis. Pun, nama tokoh Sultan Muhammad I dalam rangkaian cerita Kyai Sepanjang versi Kitab Musarar yang dikutip Siti Rumilah dan kawan-kawan memang merupakan tokoh yang ada di dunia nyata, tetapi Ia memerintah tahun 1413 hingga 1421 M, selanjutnya cerita tersebut menyebut bahwa Pulau Jawa belum dihuni oleh manusia, pernyataan ini akan bertentangan dengan bukti-bukti empiris yang ada.
Rangkaian cerita Kyai Sepanjang versi tradisi lisan Juru Kunci Gunung Tidar yang dikutip Fikha pun sama halnya, terlebih umum diketahui bahwa Al-Qur’an baru ada semasa keberadaan Nabi Muhammad SAW, sedangkan di Pulau Jawa semasa itu sudah ada kehidupan manusia dan budaya yang tidak bisa disebut bernilai rendah. Jadi, kedua edisi dan rangkaian cerita paku bumi Pulau Jawa tidak bisa diterima sebagai sejarah yang menceritakan peristiwa nun benar-benar terjadi. Namun boleh kita sebut sebagai kisah, oleh sebab topik utamanya terdapat pada pesan dan makna. Lebih lanjut, kita bisa memahami kedua edisi tersebut menggunakan sudut pandang etnologi atau ilmu-ilmu ke-bangsa-an. Secara etnologi, kisah tersebut menjadi sesuatu yang sangat menarik.
Tidak tanggung-tanggung pemindahan kosmologis puncak gunung yang paling suci bagi agama Hindu, Mahameru dari Jambudwipa ke Jawadwipa ini dapat dihubungkan dengan fenomena local genius. Tempat bersemayamnya para dewa tersebut diboyong dari India ke Pulau Jawa, sehingga para dewa tampak hadir secara langsung di Pulau Jawa. Dalam hal ini boleh ditafsirkan, peradaban Hindu di Jawa tidak serta merta mengkiblat ke India, mereka memiliki kearifan lokal budaya. Nah, pola yang sama terdapat dalam kisah Syekh Subakir yang ‘memaku’ Pulau Jawa di Gunung Tidar, pula, janji dengan Ki Semar yang secara simbolik mapun denotatif menjadi pengingat bahwa Islam di Pulau Jawa memiliki kearifan tersendiri, bangsa Jawa mempunyai budaya tersendiri, tidak serta merta mengikuti budaya bangsa Arab. Tampaknya inilah yang dimaksud sebagai paku bumi, Pulau Jawa dipaku supaya tidak mudah dihempas dan diguncang, Ia memiliki akar jati diri.