Lihat ke Halaman Asli

Flutterdust

Muhammad Fa'iq Rusydi - Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Emha Ainun Nadjib dan KiaiKanjeng: Refleksi Keberadaan Walisongo di Masa Silam

Diperbarui: 23 Maret 2022   05:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Emha Ainun Nadjib dan KiaiKanjeng dalam HUT ke-1268 Kota Salatiga di Alun-alun Pancasila Kota Salatiga, Jum'at (13/7/2018). Sumber Foto: Caknun.com

Emha Ainun Nadjib bukan KiaiKanjeng

Emha Ainun Nadjib bernama asli Muhammad Ainun Nadjib dan akrab disapa dengan nama panggilan Cak Nun, lahir di Desa Menturo, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang hari Rabu tanggal 27 Mei 1953. Sekarang berusia 68 tahun (nama panggilan pun ikut berubah menjadi Mbah Nun) masih aktif di beberapa hal, utamanya dalam kegiatan menulis, mengaji dan sinau bareng. Banyak karya tulis mulai dari puisi, cerpen, artikel, script teater, script film, essai sampai buku-buku yang sudah dilahirkan. 

Puisi yang sangat fenomenal diantaranya adalah "Lautan Jilbab" di tahun 1978 yang berpengaruh terhadap perubahan sosial budaya pada masa Orde Baru akibat kebijakan "larangan memakai jilbab." Di antara berpuluh-puluh buku yang sudah dilahirkan, salah satu bukunya yang Saya suka adalah Secangkir Kopi Jon Pakir, yang lucu dan berisi.

Dalam kegiatan mengaji, Mbah Nun kadang melakukanya sendiri, kadang bersama tetangga jika ada undangan dan sanak family atau teman jika memang ada 'acara'. Sedangkan dalam kegiatan sinau bareng, Mbah Nun ditemani KiaiKanjeng. 

Siapa KiaiKanjeng? pertanyaan ini belum pernah muncul di telinga Saya, tetapi kebetulan ketika berbincang bersama beberapa teman dan menyinggung nama Emha Ainun Nadjib, banyak di antara mereka yang mengira KiaiKanjeng itu satu kepala dengan sosok Mbah Nun. Entah mengapa dinamakan KiaiKanjeng, Saya melihat KiaiKanjeng seperti grup gamelan yang ada di acara wayangan. 

Ya, KiaiKanjeng terdiri dari beberapa personil yang memainkan alat-alat musik, bedanya dengan grup gamelan di wayangan, vokalis KiaiKanjeng bukan nyinden. Lagu-lagu yang dimainkan pun lebih beragam mulai genre pop, rock, keroncong, dangdut, religi (sholawatan, sya'ir sampai tembang dolanan). 

Alat musik yang dipakai juga beragam, dari yang tradisional sampai modern dan diantaranya yaitu gitar, gendang, bonang, terbang, gamelan, seruling, biola, bass dan drum. Melalui kreativitas-kreativitas yang disuguhkan dalam setiap ciptaan maupun gubahan lagunya, sampai sekarang, 

KiaiKanjeng masih tampak produktif dan eksis. Album pertamanya berjudul Kado Muhammad, berhasil rilis di tahun 1995. Mas Yoyok menceritakan tentang perubahan budaya masyarakat pasca lahirnya album tersebut, "Sebelum itu, orang malu dengan budaya puji-pujian. Tapi setelah itu, tidak lagi malu" dikutip dari Caknun.com (KiaiKanjeng Pesona Musik Gendheng). Pun demikian dengan album kedua dan album-album yang lain, menurut Mas Yoyok, album-album KiaiKanjeng sangat berpengaruh pada kondisi budaya masyarakat.

Peran Mbah Nun dan KiaiKanjeng

Peran adalah pengaruh yang diharapkan dari seseorang di dalam dan di antara hubungan sosial tertentu. Sebuah peran bisa dilihat lewat kacamata individu dan kelompok. Mbah Nun bagi beberapa individu adalah kyai ndablek, cendekiawan muslim, budayawan, sastrawan, guru, kakek, preman, waliyullah, guru ngaji atau punk dan sebagainya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline