Lihat ke Halaman Asli

Di Puncak Punggung

Diperbarui: 9 September 2020   11:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ssssss.., ssss.. crass..! bunyi desiran ombak menghentikan langkah. Ona, memalingkan pandangan ke setiap sudut bibir pantai mengamati setiap pukulan deburan ombak di atas pasir, sesekali pecah di tengah karang, jatuh dalam genangan-genangan kecil. Ada yang bertahan dalam lubang-lubang karang,  ada yang pergi, hilang,  entah kemana.

Mereka pernah berkata kalau-kalau  matahari mengambil dan membawanya ke tempat tinggi bernama angkasa mengumpulkannya di sana, mengubah namanya menjadi awan, pada satu ketika akan kembali dalam wujud yang sama dengan nama berbeda. Hujan! Itu yang kuingat dari pelajaran geografi dulu dan Bernard Palissy pencetus siklus air terlukis manis di sana. Tetapi,...  Pierre Perrault, Edme Marlotte dan Edmund Halley mereka adalah sosok-sosok yang kulupakan bahkan mungkin semua orang di dunia, pada hal mereka juga bagian dari pemikiran ini. Pikirku, "mungkin mereka akan dikenang jika ada yang berpikir tentang asal mula  "hydrologi". Mereka dan penemuannya adalah abadi dalam dunia, tetapi tidak untuk yang satu ini..

***

Lima tahun lalu, aku pernah merasakan getaran hebat di dadaku. Sakit perut, demam, gemetetaran, datang menghampiriku seketika. Jika diingat-ingat aku tidak memiliki riwayat penyakit seperti ini tetapi mengapa ada padaku. Aku mengulurkan waktu dari sakit-sakit ini agar tidak terlihat orang sebelum kutampilkan diriku dipanggung kebahagiaan, setelah namaku disebut.

 Ona Cancar Maharesti itulah aku, sosok yang selalu dipuja-puji oleh semua orang mulai dari nama sampai pada kepribadianku yang membawa kegemilangan bagi semua orang. Seperti itulah aku di mata mereka sesuai dengan arti nama yang mereka tafsir sesuka hati. Tetapi tidak untukku, nama ini selalu membawa sakit yang tiba-tiba.. aku gugup, cemas dan takut ketika namaku dipanggil dan harus berdiri di atas panggung kebesaran di hadapan para singa, serigala, dan sejenisnya dengan mata pemangsa yang tidak berkedip sedikitpun melihat aku dari atas kepala sampai ke ujung sepatu kecilku.

Mata-mata itu, mata penggelap kemanusiaan, senyuman-senyuman itu, senyuman sinis kebinasaan, anggukan-anggukan itu, anggukan rencana kematian. Tak ada kehidupan yang patut dibanggakan apalagi kebahagiaan. Semua akan sirna dalam genggaman mereka. Konspirasi itulah arti terkeren yang pernah ku dengar selain persekongkolan.

Kuakui semua yang kulihat, dan kupahami yang kupelajari, lima tahun silam. Tak akan ada kebaikan dan jasa terbalas hormat kemanusiaan. Mayat-mayat kini terkapar dalam kantung terbungkus bagaikan parcel, dikuburkan tanpa penghormatan dan berakhir pada penggalian kembali karena penolakan. Akhir dari sebuah kata, di kemanakankah mereka ini??? Aku teringat pepatah kuno; gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Masih berlakukah pepatah indah ini?? Jika masih, apalah arti sebuah nama diantara kantong-kantong itu?? Lebih indah ku katakan "sebuah nama tak bertubuh". "abstrak".

Di bawah terik matahari ditemani gelombang-gelombang ombak, aku menyadari di puncak punggungku ada jiwa-jiwa pengharapan. Aku berdoa untukmu-semua bahagia di alammu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline