Tulisan ini saya copas dan sedikit saya tambahkan dalam (sastra), dari postingan abang Simon Lamakadu, tahun 2016
Pagi itu, langkah kami kembali dari doa di Gereja Paskalis terasa tenang, ditemani doa yang masih berbisik di hati. Tapi siapa sangka, di tikungan jalan, Tuhan menyelipkan cerita kecil yang begitu mendalam.
Dua anak, David dan Benediktus, dengan senyum polos yang tak pernah menua, berdiri di sana, memancarkan semangat sebesar dunia.
Mereka datang, ingin merayakan Natal kedua. Sebuah tradisi yang mungkin bagi mereka adalah kewajaran, namun bagi banyak tempat di negeri ini adalah sesuatu yang asing.
Tradisi yang hangat, hidup hanya di Flores, Papua, dan beberapa pelosok Timur, sebagai jejak tangan lembut para misionaris yang pernah singgah.
Ketika harapan kecil mereka berujung kecewa, karena di sini Natal kedua tak dirayakan, hati kami tak tega membiarkan mereka pulang dengan tangan hampa.
Maka kami ajak mereka ke rumah. Di meja sederhana, sarapan dihidangkan, dan bingkisan kecil diberikan, bertepatan dengan ulang tahun kelima Manuel Luiz.
Ironi hadir dengan cara yang lembut, bingkisan pertama justru jatuh ke tangan David dan Benediktus, dua bocah yang baru saja kami kenal.
Anak-anak ini tak lagi memiliki ayah, tetapi mereka tak kekurangan semangat. Mereka kini tinggal di Jakarta, di bawah naungan yayasan kecil yang berjuang memberikan mereka masa depan lebih baik.
Momen itu membuat kami terdiam sejenak. Natal kali ini bukan soal kemegahan atau keindahan lampu-lampu, tetapi tentang hati yang saling menemukan.