Lihat ke Halaman Asli

Florensius Marsudi

Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Kasihan Anas Urbaningrum

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

132826166233765334

[caption id="attachment_160059" align="aligncenter" width="300" caption="Hening.... (gbr. Google)"][/caption]

Hening  yang harum

Dalam tradisi Jawa, ada istilah "ajining salira karana busana, ajining diri karana lathi".   Indahnya seorang manusia, secara etis - refleksif tampak secara jasmaniah karena busana yang dipakai, dan keindahan  - tampak secara batiniah - harga diri karena mulut, bibir yang mengucapkan kata.

Menyentil nama Anas Urbaningrum, saya tersentuh dua suku kata yang terakhir, ningrum. Pelesapan dua suku kata sebelumnya (urban), tidak saya bahas. Ningrum lebih mengarah (menurut saya) pada arti hening yang harum. Keheningan diri untuk tak terlalu cepat beraksi, berreaksi. Tetap santun dalam tutur itulah yang membuat orang (minimal saya yang menonton tivi) yang berhadapan dengan beliau bisa menjadi geregetan. Geregetan, apa sih yang mau dikatakan Anas Urbaningrum?

Coba bayangkan, sekelompok manusia berdemo, bahkan tak kurang sekelompok politisi berkomentar tentang Anas, namun Anas yang Ningrum itu tetap senyum-senyum. Gaya yang "mengolah di dalam" mencerna ke luar rupanya telah mendarah daging pada beliau. Dalam kondisi seperti itulah, Anas Urbaningrum menampakkan diri sebagai seorang ketua partai yang "terolah", bukan hanya sebagai ketua partai "yang  hanya seolah-olah". Dalam bahasa Jawa iki tenanan lo.....

Saya cuma mengamati, saya cuma membaca di media, bahwa keberanian Anas Urbaningrum untuk mengerem diri berbicara, itulah yang menjadi kekuatan beliau. Bahasa psikologisnya tak menghamburkan energi yang tak perlu. Entah benar atau keliru apa yang Anas lakukan dalam berpartai, ia masih mencoba menjalurkan diri dalam wadah partai (nggak keluar partai). Ia setia. Itulah hening yang harum.

"Ngelmu urip"

Ngelmu urip kalau diterjemahkan menjadi "mencari ilmu untuk kehidupan", urip - hidup. Anas Urbaningrum lebih mengedepankan ilmu hidup. Dalam ilmu hidup itu selalu ada proses bertumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan yang tak hanya - melulu - bagi dirinya sendiri , tapi juga pertumbuhan dan perkembangan bagi orang lain, partai.

Lalu dimana letak "ngelmu itu"

- Anas yang ningrum itu mencoba memberi kontribusi, mencalokan diri menjadi ketua partai. Dan ia menang.  Proses ke arah kemenangan dan mekanismenya, partailah yang mengetahuinya (maklum saya gapol ...je, gagap politik). Sebagai ketua partai, pastilah, ia perlu mengetahui visi, misi  - dan duduk perkara serta persoalan - yang ada  di partai. Sebagai peziarah ngelmu urip, ia pasti paham betul, apa artinya berkorban, dan  apa artinya berbenah membawa partai lebih maju, baik ke dalam maupun ke luar partai. Persoalannya, seberapa kuat dukungan warga akar rumput partai.

- Kedekatan Anas dengan berbagai lapisan kader, juga perlu menjadi pertimbangan tersendiri.  Segelintir kader menghendaki Anas mundur. Namun penghendakan itu rupanya justru menjadi pembelajaran tersendiri bagi ngelmu uripnya Anas. Berterang dalam lampu, bersinar dalam  pijar;  itulah kata yang pas. Anas yang sadar berpolitik, pastilah mengedepankan mekanisme AD - ART partai (yang saya yakin telah ia pahami betul). Orang perlu bersuluh ketika kegelapan, dan berpijar menjadi penerang bagi yang kegelapan, sekalipun itu sulit, sekalipun suluh itu mungkin akan redup. Filosofi itu berlaku bagi semua orang, jika ia sungguh memahami apa artinya menjadi manusia membawa kemaslahatan bagi yang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline