Sahabat,
Serombongan ikan itu sudah kelepek-kelepek ketika kulihat terpapar di pinggir pantai. Mungkin ombak yang besar telah mendamparkannya ke pantai luas ini. Atau ada manusia iseng, yang sengaja mau menggaringkan ikan itu di pantai. Memang, sebagian besar malah ada yang membakarnya, beberapa waktu lalu.... Luluh lantak.
Setahuku, manusia usil selalu ada di mana-mana. Usil karena mau mengaktualisasikan diri (nggak tahu kata yang pas, tanya mang Bain, mister guru), misalnya dengan coret-coret dinding, usil sengaja mencari perhatian ... atau sengaja memancing situasi. Memancing situasi yang sudah "tentram" dibuat gaduh, supaya kelihatan ....bahwa ia ada. Atau usil supaya kelihatan bahwa punya tangan jahil. Dan lain sebagainya....
Kini ikan yang sudah setangah 'pingsan' itu tinggal menunggu waktu. Para nelayan itu sudah membawa jaring masing-masing, bahkan ada yang membawa tangguk andaikan ikan itul masih mau kembali ke laut. Ada juga yang membawa pentung, golok terhunus untuk membunuh ikan yang pecicilan. Seolah laut luas itu hanya milik nelayan semata.
Para nelayan itu nggak sadar, kalau laut juga milik si batu karang, milik si terumbu, milik si kerang...bahkan "kutu lautpun" merasa memilikinya.
Kelepek-kelepek ikan jaman sekarang juga berimbas pada yang lain. Karena kelepek ikan mengacak-acak garam yang sudah teronggok rapi, kini garam yang mestinya untuk mengasinkan ikan, berubah menjadi garam pahit tertelan manusia. Garam itu telah bubar mawut. Bubar mawut dan pahit karena manusia juga ikut kelepek-kelepek harus mengimpor garam. Cerita tragis garam yang ada di dunia, bayangkan kita mengimpor garam..... (bdk. di sini )
Sahabat,
mestinya saya sedih. Andaikan ikan-ikan yang kelepek-kelepek , yang sedikit itu dibiarkan hidup dengan kaidah "perikanan" tersendiri, pastilah ikan itu akan "menambah warna". Menambah khasanah oh....Indonesia kaya. Kaya ikan yang bagus. Sayang, para nelayan selalu "punya seragam" sama untuk membinasakan ikan itu. Seragam itu bisa kata-kata "sesat", "menyesatkan", "tak sesuai buku per-ikan-an" dan seragam-seragam yang lainnya yakni jala, jaring yang meraup banyak, entah pancing - kail yang melukai MULUT ikan. Bahkan racun berbisa mematikan selalu mereka (nelayan) gunakan.
Ingat lo... nelayan itu juga mempunyai para tetua. Para tetua itu juga sering berkumpul, punya "pos", alias kantor. Tetua yang kadang hanya tahu di belakang meja, berapa ikan yang ada, jenis apa...berapa beratnya.... Jika tetua nelayan tahunya hanya dari belakang meja, dan tak terjun mengamati laut, minimal menyisir pantai, jangan harap akan tahu beragam jenis ikan. Mungkin mereka juga tidak tahu ada sekumpulan ikan lain yang bisanya membuat onar. Ini tak boleh, itu tak boleh karena tak sepemahaman tentang per-ikan-an.
Sahabat,
masihkah kelepek-kelepek ikanitu berpengaruh terhadap laut, garam, apalagi berpengaruh terhadap keberadaan para nelayan. Nelayan yang kadang (maaf) sekalipun sudah ubanan tapi juga masih saja kelihatan tidak bijak, alias nggak dong-an, dalam menentukan "dunia per-ikan-an"? Lebih parah lagi beberapa ikan kecil ditangkap, dibawa ke gedung keong-bundar Senayan, seolah dunia ini hanya milik ikan-ikan besar saja. Milik nelayan-nelayan yang bertaring saja. Dunia merindukan kita untuk bisa berbuat nyata, bukan menghujat yang bermudarat. Wallahualam bissawab....