Lihat ke Halaman Asli

Florensius Marsudi

Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Menu Istimewa

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Mas, Lebaran ke rumah. Kami tunggu".

"Iya, Mbok". Kataku.

"Serius lho.......". Mbok Minah, menegaskan.

"Iya, Mbok. Aku kerumah".

Mbok Minah, janda umur 60 tahun. Ia hidup dengan anaknya semata wayang, Gigih namanya. Mbok Minah bekerja srabutan, kadang jualan pisang goreng, tahu isi, ataupun jualan tempe mendoan. Hasilnya ia bagi dua dengan "bos" yang memodalinya. Ia hidup di pinggir kali. Kadang, jika kali itu "muntah", tak jarang rumah mbok Minah jadi langganan "muntahan" air kali  itu.

Rumah mbok Minah, jauh dari kata layak.  Selain bolong-bolong, juga hanya berdinding kardus (bagian dalam) dan bagian luar dari anyaman bambu. Jari-jari anak kecil bisa masuk dilubang anyaman bambu.

Jam 10 pagi. Tiger 2000 itu kutrabaskan di jalanan kota yang macet. Kuda besi 200 CC rasanya cukup mengerti keinginanku, liak-liuk kekiri-kekanan. Sesampai di rumah mbok Minah, kuda besi itu kuparkir di tanggul kali, kunci shock berbentuk U, melintang di ban depan.

"Assalamualaikum". Sapaku.....

"Alaikum salam". Jawab seorang Ibu dari dalam rumah.

"Maaf lahir batin, Mbok". Kupeluk Ibu tua itu. Ia membalas memelukku erat. Ah...rasanya damai hatiku. Selesai bersalaman dengan sang ibu, kupeluk putranya semata wayang.

"Maaf lahir batin, Dik". Kataku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline