Warto (sebut saja begitu), ia seorang guru. Beliau sudah berkarya di institusi pendidikan, sebagai tenaga pengajar selama 20 tahun, 11 bulan, 20 hari. Pernah ia berkata bahwa menjadi guru sudah kapalen-binti nglothok kering, segala materi ajar sudah ia kuasai dari itu ke itu mulu. Maka tak jarang, karena alasan tersebut (sudah kapalen ngajar), amatlah jarang ia membarui diri dengan belajar lagi. Belajar sekalipun hanya membaca buku-buku yang berhubungan dengan pedagogi, membaca buku-buku psikologi yang berhubungan dengan perkembangan kejiwaan anak, bahkan membaca kolom pendidikan di surat kabar KOMPAS-pun tak ia lakukan (alasannya, ia sudah 'paham' mengajar).
Suatu ketika, Warto memberi tugas pekerjaan rumah (PR) kepada 35 muridnya. Seminggu kemudian, tugas tersebut dikumpulkan. Dari ke-35 murid yang telah mengumpulkan PR, ada 5 anak yang dinyatakan harus mengulang-mengerjakan kembali PR-nya. Alasan pengulangan tersebut karena tak sesuai dengan buku ajar pegangan milik sang guru Warto. Hm...buku ajar dan "buku ajar" yang tersebar di masyarakat (juga di dunia maya) amatlah banyak, sang Guru... (batinku).
Inti pendidikan adalah (proses) pembelajaran. Proses tersebut melibatkan siswa sebagai subyek ajar di satu sisi, dan guru sebagai fasilitator pendidikan di lain sisi. Proses tersebut pastilah juga akan bertautan dengan pengelolaan pendidikan (baik di kelas maupun di luar kelas), dan bertautan juga dengan sarana prasarana (pendukung) pendidikan sekolah yang ada.
Sebagai subyek ajar, murid memang mendapat perhatian yang lebih. Perhatian lebih itu mencakup perkembangan intelektualnya, sosialnya, perkembangan emosinya dan perkembangan budi pekertinya. Pertanyaan dalam hati saya, jika guru tak pernah meng-up grade pengetahuan dirinya, jika guru tak pernah mau belajar lagi (dalam arti luas), bagaimana mungkin proses pembelajaran itu dapat berlangsung dengan baik?
Dengan kata lain, seorang guru memang dituntut untuk mau membarui diri, belajar kembali. Seabreg tugas yang diemban, segudang tugas yang perlu diselesaikan oleh seorang guru, kadang menjadikannya lupa. Lupa untuk berbenah, lupa untuk terus meracik diri - meramu diri dengan berbagai pengetahuan kognitif dan afektif yang berguna bagi tugas keguruannya.
Belajar tak harus dengan buku. Seorang guru bisa berdiskusi dengan rekan guru (senior). Bisa juga ia membuka-baca internet (khususnya rajin membaca-mengikuti kolom pendidikan), bahkan dapat pula menjadi anggota penerbit-percetakan buku. Andaipun seorang guru tak sempat berlangganan surat kabar, pastilah institusi pendidikan tempat ia bernaung berlangganan surat kabar. Seberapa lamakah seorang guru meluangkan waktu 10-15 menit hanya untuk menyegarkan budi dengan membaca-mengisi diri untuk belajar (-membaca)?
Mungkinkah "guru yang profesional" (bdk.UURI/no.14/2005, tentang guru dan dosen, pasal 1) dapat diraih-diwujudkan jika seorang guru hanya mengandalkan pengetahuan diri sendiri dan tak mau belajar (lagi)? Saya pikir, hal tersebut - guru yang profesional - masih jauh dari harapan. Pengetahuan hidup manusia itu luas. Ia seluas segala kenyataan, begitulah kata Adelbert Snijders, salah seorang pengajarku. Pengetahuan itu tak terbatas, maka pelajarilah (dan belajarlah) selagi kamu masih berkendak untuk hidup (apalagi hidup untuk orang banyak: murid, mahasiswa, dst)!
--------------------------------
Ditulis dalam kondisi prihatin ketika melihat "calon guru muda" praktik mengajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H